Kamis, 31 Desember 2009

FORUM (GURU) SENI RUPA

Oleh
Jajang Suryana










Apakah guru seni rupa memerlukan forum untuk sekadar mengumpulkan keluhan (khusus) tentang masalah pembelajaran seni rupa? Atau, guru seni rupa sama sekali tidak pernah merasa memiliki masalah pembelajaran?


Ah.
Banyak guru seni rupa yang telah melanjutkan kuliah tingkat magister. Tetapi, banyakkah temuan pembelajaran yang bisa dijadikan pola ikutan baru bagi pengajar lainnya?


Di lapangan, banyak sekali kasus posisi guru seni rupa yang ditempati guru bidang studi lain yang "dianggap suka seni rupa". Mereka adalah guru yang sekadar punya perhatian terhadap kegiatan seni rupa. Latar belakang kewenangan mereka tak pernah diperhatikan. Sementara itu, begitu banyak lowongan guru seni rupa belum terpenuhi, karena sekolah tidak merasa khawatir jika di sekolah tidak ada guru seni rupa. Berbeda sekali ketika hal itu terjadi pada kekurangan guru bidang studi lainnya.


Banyak siswa yang kurang peduli terhadap mata ajar seni rupa. Mereka lebih bangga sekadar ada di kelas IPA. Hal itu didukung berat oleh orang tua siswa. 


Kasus menarik yang terbukti di lapangan. Ketika Jurusan Desain Tekstil masih ada di ITB, jurusan ini kurang diminati pendaftar. Tetapi ketika nama jurusan diganti dengan nama berbau fesyen (fashion) yang tampak glamour, jurusan ini sangat mengundang minat calon mahasiswa. Begitu pun ketika Jurusan Tata Busana di UM diganti nama dengan nama masa kini yang berbau teknologi pengolahan ...., minat calon mahasiswa sangat berubah.


Apa perlu Jurusan Seni Rupa diganti dengan nama lain yang "modern"? Seperti saudaranya yang telah banyak mengundang minat, yaitu animasi, desain komunikasi visual, fesyen, dan sebagainya?


Ah.    




Minggu, 13 Desember 2009

JANGAN BIARKAN MEREKA DIDESAK BUDAYA INSTAN

Oleh
Jajang Suryana





Merebaknya benda-benda plastik, sudah bisa dipastikan, semakin mendesak benda-benda berbahan bambu, kayu, maupun logam ringan yang dahulu pernah meraja sebagai bahan utama perkakas rumah tangga masa lalu. Wadah air, wadah beras, wadah sayur, wadah bumbu, hingga tempat penyimpanan pernak-pernik perkakas rumah tangga dan perhiasan berharga, kini, lebih didominasi benda berbahan plastik. Revolusi plastik betul-betul telah melanda semua belahan bumi. Manfaat dan madaratnya telah pula dituai oleh berbagai negara pengguna perangkat berbahan plastik ini. Kekhawatiran menumpuknya bahan unorganic ini telah pula menjadi bahan wacana serius hampir di semua belahan dunia.

Budaya instan sedang menjadi nikmat hidup sekaligus bakal malapetaka. Teknologi plastik adalah satu sisi budaya instan yang dinikmati oleh hampir semua lapisan masyarakat dunia. Keserbapraktisan benda-benda berbahan plastik yang menarik dari segi bentuk maupun gampang diperoleh dari sisi harga yang murah, telah mendesak hampir semua perangkat kerja berbahan lain di luar plastik. Barang berbahan plastik menjadi lebih rumit karena mudah pembentukannya. Di samping hal itu, barang plastik juga menjadi lebih sederhana dan “aman” karena bahannya yang ringan dan praktis. Tak begitu banyak masalah ketika seseorang ingin beralih menggunakan barang berbahan plastik, karena sejalan dengan perkembangan teknologi produksi masa kini, hampir semua jenis barang keperluan sehari-hari telah dibuat menggunakan bahan ini.  

Satu berita yang mengejutkan pernah dirilis tabloid Nova dan harian Kompas tentang bahaya barang-barang berbahan sejenis plastik, yaitu bahan melamin. Gaung kekhawatiran tentang bahaya penggunaan bahan melamin itu, kini, mulai hilang. Padahal, bahaya melamin, tentu, tidak akan hilang selagi bahan itu masih dijadikan bahan utama benda-benda pakai sehari-hari. Kecuali, jika nanti ditemukan cara lain yang aman dalam penggunaan bahan murah-meriah tadi. Salah satu yang, boleh jadi, sempat meredam kekhawatiran bahaya melamin, adalah pernyataan sejumlah orang yang dianggap ahli, yang menyatakan bahwa penggunaan benda melamin yang aman adalah ketika barang-barang itu dipakai untuk mewadahi makanan yang dingin, tidak panas. Kondisi panaslah yang memungkinkan munculnya bahaya dalam penggunaan bahan melamin.  

Satu keterampilan baru telah muncul, keterampilan mengolah bahan plastik. Barang-barang rumah tangga praktis banyak muncul sebagai desain baru perkakas rumah tangga yang murah, ringan, “modern”, tetapi cenderung gampang retak. Daur ulang plastik bekas pun telah dilakukan menghasilkan barang yang cenderung semakin buruk kualitas bahannya. Dikhawatirkan penggunaan wadah berbahan plastik bekas  yang diolah sembarangan juga akan menimbulkan akibat buruk untuk kesehatan manusia. Memang, tidak semua perkakas rumah tangga sepenuhnya bisa digantikan dengan benda berbahan plastik. Masih ada sejumlah perkakas yang tetap bertahan dengan bahan asal. Namun, berapa banyak perkakas rumah tangga yang pernah digubah oleh leluhur kita dengan berbagai desain yang fungsional, ramah lingkungan, dan di satu sisi terkait dengn pertibangan kesehatan alami, hilang tanpa bekas. Pendokumentasian prestasi hidup sebagai gambaran dapatan budaya fisik jarang kita temukan. Bersama hilangnya catatan perkakas rumah tangga masa lalu, hilang pula nama-nama barang yang dulu pernah digunakan sehari-hari. Sekalipun telah muncul pengayaan kosa kata baru terkait dengan nama-nama benda baru, sangat disayangkan kekayaan lama hilang tanpa catatan.     

Munculnya  jenis kegiatan lengkap dengan kosa kata nama kegiatannya yang baru, telah memperkaya khazanah kata-terpakai dalam kamus kebahasaan kita. Misalnya, dalam kegiatan mengolah sawah --pada zaman Orde Baru, penanaman padi menjadi salah satu jenis program penyeragaman yang dilakukan oleh Pemerintah-- pengayaan bentuk kegiatan itu seharusnya tidak menghilangkan begitu saja kegiatan dan kosa kata nama kegiatan yang sejak lama telah dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat Irian dan Flores, misalnya, yang pada awalnya cukup bercocok tanam sagu, kemudian makan olahan sagu, dianggap kurang “beradab”, karena itu harus menanam padi dan makan beras. Suatu hal yang keliru ketika muncul pikiran dan putusan untuk memaksakan penyeragaman semua urusan penduduk suatu negara yang tinggal dalam beragam lingkungan. Oleh karena itu, putusan keliru itu telah banyak melepaskan masyarakat dari keterikatan dengan kekayaan budaya daerahnya, kemudian dipaksa harus memamah nilai-nilai kebudayaan masyarakat di luar lingkungannya. Penghilangan nilai-nilai kekayaan hasil olah pikir, rasa, dan respons aktif fungsional terhadap lingkungan itu telah dilakukan dari segala arah. 

Budaya berhuma, mengolah tegalan, mengurus balong (kolam ikan besar), merburu binatang (jenis ikan, burung, binatang berkaki empat), memelihara ternak, dan menyadap pohon, misalnya, telah hilang pula, lengkap beserta kosa kata nama-nama kegiatannya. Generasi muda masa kini, boleh jadi tidak akan mengetahui lagi aneka kegiatan yang pernah dicapai secara gemilang oleh para pendahulunya, orang tuanya, para leluhurnya. Anak-anak masa kini yang lebih akrab dengan kegiatan-kegiatan hasil comotan dari belahan dunia lain, dalam kegiatan bermain, telah juga kehilangan kreativitas mereka dalam mengeksplorasi alam untuk menemukan jenis permainan yang menyenangkan, akrab lingkungan, menyehatkan, dan --tentu-- lebih bermanfaat bagi mereka.  

Di berbagai daerah Indonesia pernah ditemukan aneka kegiatan olah budaya materi yang sangat mengagumkan. Pada tataran tertentu, kesungguhan masyarakat masa lalu telah membawa keberhasilan yang bisa ditunjuk sebagai prestasi pamuncak yang dikenal kemudian dengan sebutan klasik. Istilah-istilah, yang ditemukan di lingkungan kegiatan masyarakat Jawa Barat sebagai salah satu dari sedikit contoh, seperti nyangling, matri, ngecor, nyepuh, ngeling, neger, nyuntik, jidat, kepeng, balincong, abuban (istilah-istilah teknis dan alat dalam kegiatan kriya logam); ngareueuy, mitembeyan, nyeuweu, ngawengku, marak, coban, barera, heurap, kecrik, sirib, lambit, jeujeur, kempis, posong (istilah teknis dan alat dalam kegiatan kriya pembuatan perkakas perikanan); dan masih banyak lagi, telah mulai hilang. Sebagian masyarakat tidak terikat lagi dengan kegiatan-kegiatan dimaksud. Begitupun yang terjadi di kawasan daerah lainnya. Kondisi tersebut, jika dikumpulkan, akan menjadi akumulasi kehilangan nasional yang sangat menakjubkan. Anehnya, banyak anggota masyarakat yang tidak merasa kehilangan, bahkan sangat suka cita menerima budaya baru milik bangsa lain.        

Dalam bidang budaya materi yang lebih besar, yang tampak sebagai bagian dari maysarakat luas, misalnya bidang arsitektur, khazanah ilmiah kita telah kehilangan banyak hal. Dulu, masyarakat desa telah mengenal teknologi ramah lingkungan dan sangat sesuai dengan kondisi alam. Di Jawa Barat, sebagai contoh utama yang dijadikan kasus oleh penulis, karena pengetahuan penulis tentang kekayaan budaya materi daerah lain sangat terbatas, masyarakat telah mulai kehilangan sebutan cukang, rawayan, pameuntasan, untuk istilah sejenis jembatan. Rata-rata telah berganti dengan model cukang yang baru, yaitu jembatan dari beton. Boleh jadi hal itu terkait dengan perubahan alam yang juga diakibatkan oleh ulah manusia. Hilangnya sungai kecil (kakalen, susukan, solokan, dan sebutan lain yang menunjukkan ukuran sungai) karena pendangkalan dan perusakan lahan, diperkirakan telah turut menyebabkan hilangnya tekonologi perkakas penyeberangan tradisional yang unik itu.



Rabu, 18 November 2009

CATATAN BUDAYA KITA



Oleh Jajang Suryana


Kita begitu yakin, berdasarkan buku-buku sumber sejarah yang diwariskan oleh Belanda, bahwa bangsa Indonesia adalah murni sebagai petani. Keyakinan tersebut didukung oleh kenyataan masa kini yang dilengkapi bukti bahwa keterkaitan dengan urusan kerja-tani tampak di mana-mana. Sedangkan, kerja-laut hanya tampak pada sebagian kecil masyarakat kita. Padahal, sejak awal, ketika Belanda dan bangsa lain yang kemudian menjajah masyarakat Indonesia mulai memasuki kawasan Nusantara, bangsa kita adalah pelaut-pelaut ulung yang aktif.

Periksalah kawasan Kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan “perairan” itu pernah berjaya mempersatukan kawasan Nusantara. Laut, ketika itu, bukan menjadi penghalang, pemisah. Laut adalah pemersatu pulau-pulau Nusantara. Bisa diperiksa juga hasil inderaja (penginderaan jarak jauh) situs Trowulan. Ternyata, air telah menjadi sarana jalan penghubung yang sangat vital pada masa jaya kerajaan tersebut. Dan, perahu adalah kendaraan kebanggaan, seperti sepeda motor dan mobil pada masa sekarang.

“Keyakinan” bahwa masyarakat Indonesia adalah petani murni, memberi dampak ketidakseimbangan perhatian kita terhadap lahan hidup yang menjadi kekayaan tak ternilai milik masyarakat Indonesia. Lahan darat seolah dibanggakan menjadi tempat paling utama yang “memberi hidup” bangsa kita. Memang alam daratan Indonesia sangat bisa meyakinkan siapa pun bahwa bangsa kita adalah petani ulung, pengolah tanah yang piawai. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hanya petani gurem yang cenderung dijerat para tengkulak. Apalagi ketika pemberlakuan “penyeragaman” pola tanam dan jenis tanam berlangsung sangat politis. Para petani hanyalah menjadi objek penderita bagi keuntungan para pemodal, para orang kota. Cokelat ditanam di mana-mana, hasilnya karena terlalu banyak kemudian ditimbun. Oleh karena itu harganya menjadi murah. Begitu pun dengan nasib pohon cengkih, vanilli, jeruk, kelapa sawit, dan bahkan padi. Orang Papua, misalnya, diharuskan menanam padi. Para transmigran ahli-mengolah sawah dikirim ke tanah Cenderawasih. Alasan penganekaragaman sumber hayati menjadi pegangan utama Pemerintah saat itu. Masyarakat yang terkena projek transmigrasi bisa berganti pola makan, meniru pola makan para transmigran, atau dipaksa menyesuaikan diri dengan pola projek. Yang dulu makan sagu, kini makan nasi. Masyarakat kota-kota besar, lebih khusus masyarakat ibu kota, tetap dalam pola lama. Kalaupun berubah, perubahannya mengacu kepada pola Barat, pola yang kurang membumi. Pola “kesatuan” telah disistematisasikan menjadi pasungan bagi kebhinnekaan. Begitu menurut para ahli.

Peribahasa lama yang berbunyi “bebek berenang mau minum mencari air”, jika dikaitkan dengan keberadaan bangsa Indonesia menjadi sangat pas. Gambaran menyakitkan itu telah tampak pada para petani Indonesia yang piawai mengolah tanah tetapi tak bisa mendapatkan hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah mengapa, beras harus didatangkan dari Jepang dan Thailand. Begitu pun hasil projek sensasional, dahulu, IPTN kemudian hanya untuk ditukar kedelai. Yang paling menyakitkan bagi para petani, ketika mereka panen, ada saja oknum orang kaya, oknum pemerintah, yang merusak “kebahagiaan” para wong cilik itu, misalnya dengan mengimpor beras dari luar negeri. Masya Allah!

Soekarno pernah mengingatkan kondisi negara kita dengan istilah kawasan yang “hijau royo-royo”. Ya, negara yang tanahnya hijau royo-royo itu tidak memberi kesempatan hidup makmur kepada pemiliknya. Kecintaan terhadap tanah Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, juga tidak tampak. Begitu banyak para penikmat kehidupan instan yang sangat suka membabat hutan untuk kepentingan instan juga, untuk kepentingan sesaat, kepentingan diri sendiri dan kelompoknya yang sangat terbatas. Itulah, sejak dahulu kita belum betul-betul punya konsep pendidikan penghargaan yang mantap, yang bisa menumbuhkan rasa tanggung jawab kepemilikan terhadap bumi pertiwi. Yang banyak tumbuh justru rasa memiliki yang tidak bertanggung jawab, rasa memiliki yang terlalu bersifat pribadi.    

Lalu, kesadaran baru pernah dimunculkan. “Kita memiliki hamparan laut yang sangat luas. Di dalamnya terkandung aneka jenis ikan yang bisa membikin masyarakat Indonesia tidak akan kelaparan. “Laut itu harus diolah. Jangan sampai dijarah bangsa lain”, demikian antara lain pernyataan para ahli. Tetapi kenyatannya, sudah sekian lama laut kita menjadi ladang subur bagi para pencari ikan bangsa lain. Entah “legal” entah mencuri. Para nelayan negeri tetangga kerap rajin mengeruk kekayaan laut Indonesia. Sedangkan para nelayan asli bangsa kita, yang peralatan kelautannya masih sangat sederhana, karena tidak pernah mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah, keberadaannya tetap dalam kondisi miskin. Sekali waktu panen ikan, ikan-ikan yang melimpah tak bisa diolah. Sungguh sangat menyakitkan.

Konon, daerah perairan samudera sekitar Nusa Kambangan adalah lahan berkeliarannya para ikan tuna kelas terbaik. Lahan itu, tentu saja sangat menjanjikan bagi para nelayan kita. Tetapi, nelayan asing juga yang kemudian menikmatinya. Nelayan kita tetap kalah terampil, karena ketidakmampuan peralatan. Yang aneh, mengapa nelayan asing bisa mengeruk kekayaan laut kita. ”Pengamanan laut kita belum optimal”, kata para ahli. Angkatan laut kita belum mampu mengamankan kawasan laut yang demikian luas bentangannya. Lalu, sampai di situ saja solusi jawabannya? Mengapa tidak diamankan saja lebih ketat (sementara) bagian bentangan samudera yang telah diketahui isi dan  kandungannya? Mengamankan yang sedikit, tetapi telah jelas isinya, lebih arif ketimbang menunggu memiliki kemampuan mengamanakan seluruh wilayah Nusantara yang begitu luas itu.

Sudah sejak masa Nusantara Lama laut dianggap sebagai pemersatu, bukan pemisah nusa-antara, pulau-pulau kepulauan Indonesia kini. Lautan adalah bagian integral dari bumi Nusantara. Seorang raja Jawa gampang saja lari ke Sumatera atau Kalimantan untuk menjadi raja di tempat pelariannya. Atau sebaliknya. Kedekatan penghuni pulau-pulau Nusantara, dulu, sangat erat. Bahkan, mereka sekerabat. Ya, laut telah begitu akrab dengan mereka. Kini, setelah laut hampir banyak dilupakan, kekerabatan itu hampir-hampir terputus.

Catatan sejarah bangsa Indonesia memang tak lurus. Berita yang dikandung buku-buku informasi kesejarahan tak jernih. Bahkan ada sejenis missing link. Generasi masa kini menjadi bingung menelusuri daerah missing tersebut. Bisa diperiksa, catatan sejarah tentang kerajaan masa lalu hanya menceritakan raja Anu berkuasa dari tahun sekian hingga tahun sekian. Raja Anu yang lain wafat tahun sekian, diganti oleh raja Anu keturuanannya. Peninggalan kerajaan Anu adalah bangunan megah, patung-patung, atau benda-benda yang kelihatan saja. Sementara cerita tentang kepiawaian masyarakatnya, kekayaan negaranya, kemajuan ekonominya, ketangkasan pikir masyarakatnya, tidak pernah diceritakan dalam buku-buku sejarah tersebut. Kita telah kehilangan catatan penting tentang masyarakat Indonesia masa lalu. Akanklah catatan tak lengkap itu diwariskan lagi kepada generasi setelah kita?

Lalu, para sastrawan bagaimana? Pernahkah mereka berpikir untuk bercerita panjang lebar tentang kekayaan masyarakat di sekitar kehidupannya? Tampaknya setali tiga uang dengan kondisi kesulitan lainnya. Ketika para sastrawan mau bercerita tentang berbagai kekayaan milik negara, mereka, pada waktu tertentu, diberangus oleh para panguasa. Hasil karya mereka dikebiri agar “tidak meresahkan masyarakat”. Ketika zaman telah memberi jalan kebebasan berbicara dalam berbagai jalur komunikasi, kesempatan itu dipakai untuk berbagai keburukan yang menguntungkan kelompok tertentu saja. Rakyat selalu menjadi bantalan kesewenang-wenangan para penguasa: ekonomi, politik, maupun pengaruh-pengaruh lainnya. Kalaupun buku telah ada, sulit sekali mengajak masyarakat yang telah kelimpungan dengan aneka kesulitan hidup. Bagi mereka yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya, dan hal itu banyak dialami oleh masyarakat kebanyakan bangsa Indonesia masa kini, berpikir jauh ke depan menjadi sangat sulit. Usaha yang dekat, “untuk makan hari ini”, menjadi upaya utama yang harus mereka kejar. Lalu, para pemimpin bangsa yang --katanya-- tampil meminta dukungan kepada rakyat, untuk memperjuangkan hak rakyat, setelah didukung malah menjadi sangat jauh dari rakyat. Mereka lebih mementingkan kebutuhan pribadi, kelompok terbatas, atau sekadar mengembalikan modal yang telah mereka gadaikan. Lagi-lagi rakyat berada pada posisi yang tak bisa banyak berbuat untuk mengolah pikir yang jauh.

Allah Mahakuasa. Allah Mahamemiliki. Semua yang dianugerahkan kepada manusia adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tak ada tanggung jawab manusia yang lewat dari catatan Allah. “Jika Allah ridho, atau sekadar berkenan, Allah akan menunjukkan sesuatu yang terbaik untuk mahlukNya. Kini, besok, atau nanti pada masa depan”.       


Kamis, 08 Oktober 2009

BAHAN RENUNGAN

Oleh Jajang Suryana

1. Mengubah Mitos dengan Cerita (Pertunjukan) Wayang

Contoh kasus, masyarakat Gunung Kidul, Yogyakarta, yang petani diajak mengubah kebiasaan mereka sehari-hari menjadi pelaut, menjadi nelayan. Mereka menolak. Mereka percaya bahwa ada kepercayaan, jika penduduk Gunung Kidul melaut, mereka akan dimurkai Nyi Loro Kidul. Sebagai cerita mitos, hal itu sangat dipercaya bahkan dihargai oleh masyarakat Gunung Kidul, sehingga tidak ada satu pun masyarakat Gunung Kidul yang berani mengambil risiko mencari murka Nyi Loro Kidul. Jadi, ketika ada tim pengabdian masyarakat dari UGM mencoba mengajak masyarakat untuk mengubah kebiasaan dari bertani menjadi melaut, ajakan tersebut ditolak mentah-mentah.

Satu solusi yang dipilih oleh tim pengabdian UGM adalah mengubah mitos. Mereka perlu waktu 20 tahun agar masyarakat bisa melepas kepercayaan mereka terhadap mitos. Dibuatlah cerita tandingan, kebalikan dari isi mitos. Cerita itu secara gencar disampaikan melalui pertunjukan wayang. Para dalang wayang disetir untuk menceritakan bahwa Nyi Loro Kidul sangat senang jika warga Gunung Kidul melaut. Bahkan Nyi Loro Kidul, dalam cerita tandingan tersebut, mengundang masyarakat Gunung Kidul agar selalu dekat dengan laut, mencintai laut.

Usaha tersebut sempat menelan korban. Ketika masyarakat Gunung Kidul mulai berani melaut, mulai berani meninggalkan perilaku bertani, ada sejumlah pelaut baru yang meninggal. Mengapa? Karena masyarakat Gunung Kidul tak pernah mengenal air besar seperti laut. Mereka tak punya sungai, apalagi sungai besar. Jadi, masyarakat Gunung Kidul pada awalnya sama sekali tidak mengerti bagaimana cara mengelola dan menaklukkan air laut. Tetapi, setelah melalui pembelajaran yang panjang, mereka mampu menjadi pelaut, petani laut.

2. Motivasi adalah fungsi kepentingan

Dalam peristiwa tadi, ada satu kunci keberhasilan yang bisa didapatkan oleh tim pengabdian kepada masyarakat UGM, yaitu melakukan upaya “penyentuhan” kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Jika kepentingan masyarakat tidak tersentuh ketika ada upaya mengubah pola pikir mereka, mereka tidak akan memiliki motivasi untuk mengikuti anjuran perubahan. Kegiatan apa pun yang ditawarkan kepada masyarakat, jika tidak menyentuh kepentingan masyarakat, pasti tidak mendapat dukungan penuh atau bahkan ditolak.    

3. Masalah mutu tidak terkait tempat

Belajar dari kondisi penjual makanan enak dan unik, misalnya, yang bisa didatangi oleh banyak orang sekalipun berlokasi di tempat yang jauh dan susah dijangkau, ada satu nilai praktis yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam mengelola mutu kegiatan. Ternyata, pada masa kini, tempat tidak menjadi pertimbangan nomor satu ketika ingin memasarkan produk bermutu. Tempat yang sulit dijangkau secara kondisi pasar, yang terpencil, bahkan menjadi bagian sisi yang menarik bagi pengguna produk. Kuncinya adalah kondisi makanan yang dijual harus telah dikenal memiliki mutu. Keterkenalan produk karena mutunya, menyebabkan orang-orang rela mengantri untuk mendapatkannya. Seperti di Bandung, ada seorang penjual makanan yang secara unik membuka warungnya tepat pukul 24.00 malam. Produk yang dijual sangat bermutu. Penjualannya menggunakan waktu yang unik. Karena mutu yang mengikat pembeli dan keunikan waktu penjualan, begitu banyak pembeli yang rela mengantri sekalipun harus mengantri tengah malam.

Sabtu, 03 Oktober 2009

MENGOREK GOLEK

Oleh Jajang Suryana


Masih banyak masyarakat yang mendukung jenis kesenian tradisi tertentu. Salah satu di antara seni tradisi lama yang hingga kini masih cukup banyak disukai masyarakat adalah wayang. Dan, wayang golek adalah sebuah fenomena seni tradisi yang banyak memiliki catatan menarik.

Wayang dikenal oleh kebanyakan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Juga oleh sebagian masyarakat Sumatera bagian Selatan, sebagian masyarakat Kalimantan, dan sebagian masyarakat Lombok. Dengan berkembangnya media massa, terutama media pandang-dengar, seperti televisi, wayang semakin dikenal. Tayangan wayang melalui televisi bisa sampai kepada para penonton di berbagai pelosok tanah air. Program transmigrasi yang telah berjalan cukup lama, tak bisa disangkal, turut memberi sumbangan penting dalam menyebarkan pengenalan wayang kepada masyarakat tujuan transmigrasi.

Wayang golek adalah satu di antara sekitar 40 jenis wayang --lebih dari setengahnya telah punah-- yang ada di Indonesia. Wayang golek, sejak kelahirannya, telah memberi kesan yang lebih khusus kepada penikmatnya. Raut wayang golek yang trimatra menghadirkan gambaran tokoh yang lebih hidup ketimbang yang digambarkan lewat wayang dwimatra, seperti wayang kulit. Gerak boneka golek bisa diolah sealamiah mungkin oleh para dalang yang piawai. Sehingga, penonton pertunjukan golek dapat merasakan watak setiap tokoh sesuai cerita dalam sabetan yang dipertunjukkan dalang.

Berdasarkan unsur cerita yang digunakan dalang dalam mempertunjukan wayang golek, wayang ini bisa dibagi ke dalam beberapa jenis. Wayang menak adalah jenis wayang golek yang digunakan untuk menyampaikan cerita menak atau cerita Amir Hamzah. Di daerah Cirebon, jenis wayang ini disebut wayang golek papak atau cepak. Golek yang biasa dipakai bercerita tentang lakon Mahabharata dan Ramayana disebut wayang golek purwa. Selain itu ada juga golek yang berunsur cerita Pasundan, seperti cerita Lutung Kasarung, namanya golek pakuan.

Seperti jenis wayang lainnya, wayang golek melewati masa perubahan: perubahan raut, bahan pembuatan, dan hiasan. Perubahan raut dan hiasan, terutama bisa diperiksa pada bagian kepalanya. Kepala golek beserta unsur-unsur hias- annya adalah bagian terpenting yang bisa digunakan untuk mengenal jenis wa- yang golek dan tokoh yang diperankan boneka tersebut. Perubahan bahan pem- buatan lebih banyak berhubungan dengan pertimbangan ketersediaan bahan dan keterpakaian golek tersebut. Golek-golek pertunjukan biasanya dibuat dari bahan kayu lame. Tetapi, pada masa sekarang, banyak golek yang dibuat dari bahan kayu albasia, jeungjing atau sengon. Jenis kayu jeungjing inilah yang kini banyak digunakan untuk membuat golek, terutama golek hiasan.

Menjelang masa jabatan sebagai bupati Kabupaten Bandung hampir berakhir, tahun 1840-an, Wiranata Koesoemah III atau Dalem Karang Anyar merintahkan kepada Ki Darman untuk menciptakan jenis wayang purwa baru yang berbeda dengan wayang kulit yang sudah ada. Dalem meminta wayang yang terbuat dari bahan kayu, yaitu wayang golek. Pada awal perancangannya, kepala golek dibuat agak gepeng. Hal ini bertalian dengan latar belakang pengalaman Ki Darman sebagai juru wayang kulit (pembuat wayang kulit) dari Tegal yang tinggal di daerah Cibiru, Kabupaten Bandung. Raut wayang kulit yang dwimatra masih memberi pengaruh kepada raut boneka golek hasil rancangannya. Peran Bupati Kabupaten Bandung sangat penting dalam lahirnya jenis wayang baru ini. Sebagai pejabat pemerintahan yang sekaligus pengayom seniman, pencetus ide bagi lahirnya raut wayang baru, dia selalu telaten memantau pencarian Ki Darman. Munculnya unsur-unsur perubahan awal pada raut golek banyak bersumber dari gagasannya. Golek yang membulat, bulat torak, seperti yang kita nikmati saat ini merupakan hasil perpaduan gagasan dan pencarian antara Wiranata Koesoemah III dengan Ki Darman.

Ki Darman menurunkan keterampilan membuat wayang golek kepada anak-anak dan cucunya. Beberapa anaknya yang masih hidup --saat tulisan ini dibuat-- sudah berhenti membuat golek. Sejumlah cucunya yang tinggal di Cibiru maupun di luar Cibiru, seperti di Ujung Berung dan Cimareme, masih terus berkarya memenuhi permintaan para dalang. Daerah Cibiru kemudian dikenal sebagai pusat pertumbuhan wayang golek purwa. Oleh karena itu, Ki Darman pun memiliki banyak murid. Murid-murid Ki Darman, setelah magang di Cibiru, mengembangkan kegiatan pembuatan wayang golek di daerah lain, seperti di Bogor, Sukabumi, Karawang, Padalarang, Cimahi, Bandung, Ciparay, Garut, dan Ciamis. Selanjutnya nama Cibiru menjadi nama sebuah gaya pembuatan golek, karena pada pertumbuhannya muncul banyak gaya pembuatan golek yang mengambil nama daerah pembuatannya.

Gaya Cibiru atau Cibiruan tetap menjadi acuan. Gaya ini bisa dipilah menjadi dua: Cibiru Lama dan Cibiru Baru. Gaya Cibiru Lama masih dipertahankan oleh sebagian juru golek. Ciri yang mencolok bisa dilihat pada bagian kepala golek yang kurang membulat, dan warna hiasan kepala yang cenderung mengarah ke hijau dan prada, brom, atau kuning emas. Gaya Cibiru Baru pada dasarnya merupakan pelanjutan penggunaan ciri-ciri Cibiru Lama. Perbedaan yang tampak menonjol adalah pada hiasan bunga berwarna cerah, hiasan "sablonan" dengan warna mengarah ke warna ungu dan merah, serta kepala golék yang lebih membulat.

Peran serta para dalang kondang dan para pejabat kesenian yang memiliki banyak perhatian terhadap golek dengan juru golek, melahirkan beberapa pembaruan untuk menyempurnakan raut wayang ini. Trend gaya pembuatan golek sering muncul dari keterlibatan mereka. Para dalang Giriharja, kini banyak mengarahkan kecenderungan tersebut. Mereka, setelah Gebrakan 80-an, yaitu pertunjukan wayang golek yang memanfaatkan penemuan teknik baru dalam "menghidupkan" boneka golek, telah menjadi ikutan dalam pembuatan golek.

Kepiawaian para juru golek dalam menghadirkan sosok boneka golek dengan segala ciri pribadi tokohnya merupakan misteri yang belum terjawab. Hasil penelitian tahun 1995 menunjukkan, buku yang membahas wayang golek bisa dikatakan tidak ada. Museum Negeri "Sri Baduga" Jawa Barat belum memiliki satu pun buku yang mengungkap pembuatan golek ini. Begitu juga Perpustakaan Wilayah Jawa Barat. Hasil penelitian yang membahas keberadaan wayang golek purwa (bukan unsur ceritanya) baru ada dua buah. Djauhari Sutarman (1968) pernah meneliti Wayang Golek Purwa Pada Masyarakat Sunda, yaitu sebuah tinjauan dan saran-saran dari segi seni rupa, untuk laporan skripsinya. Jajang Suryana (1995) meneliti Raut Wayang Golek Sunda Ditinjau Dari Latar Bela-kang Watak Tokoh untuk laporan tesis (kini telah siap untuk diterbitkan). Kedua laporan penelitian tersebut ada di Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Ban-dung dan di Perpustakaan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Museum Wa- yang Jakarta Kota, yang sepantasnya menyediakan informasi tertulis di samping informasi kebendaan tentang aneka jenis wayang, hingga tulisan ini dibuat be- lum memiliki pustaka yang membahas wayang golek.

Kenyataan tersebut merupakan tantangan yang harus segera dijawab. Pencatatan salah satu kepiawaian masyarakat Jawa Barat ini perlu segera dilaksanakan. Begitu banyak kepandaian bangsa Indonesia yang tidak sempat tercatat sebagai buku, padahal jenis keprigelan tersebut sebagian besar telah hilang. Orang Sunda, khususnya, boleh jadi banyak yang masih merasa bahwa “elmu lain tina daluang tapi ti pada urang” (ilmu bukan dari buku tapi langsung dari orang) itu masih perlu dipertahankan. Tampaknya, dalam penurunan keterampilan ihwal pembuatan golek pun, pakem tidak pernah ditulis sebagai aturan yang jelas tertulis. Oleh karena itu, pembuatan boneka golek seolah-olah tidak diikat pakem seperti dalam wayang kulit. Bisa dibuktikan, tokoh Gatot Kaca satu di antaranya, bisa dibuat berbeda ukuran, warna pakaian, dan hiasan.

Catatan tentang golek yang lebih lengkap adalah yang dibuat oleh Peter Buurman, seorang penulis berkebangsaan Belanda (1984). Dalam buku Wayang Golek De Fascinerende Wereld Van Het Klassieke West-Javaanse Poppenspel itu tercatat lumayan banyak informasi tentang golek masa lalu. Sedang kan buku tulisan Mas Adung Salmun dan Atik Supadi, hanya menyoroti masalah pedalangan. Padahal, dalang tanpa golek, mungkin, tak bisa manggung. Golek tanpa dalang, masih bisa tampil sebagai karya seni rupa yang mandiri. Perlu ada kerja sama antara ahli seni rupa dengan ahli pedalangan untuk membuat catatan lengkap tentang golek ini.


Sabtu, 29 Agustus 2009

KARYA BANGSA

Oleh Jajang Suryana

Membaca sejumlah buku tentang Bali, kita akan terhenyak, ternyata penulisnya adalah para Bule. Anda bangga karena masalah Bali ditangani orang lain? Atau, Anda langsung sesumbar, “Hebat, Bali dikenal dan diperhatikan oleh orang-orang mancanegara!”. Nanti dulu. Mari berpikir rasional.

Dalam setiap kali memberi kuliah tentang kesenian, khususnya seni rupa, saya selalu menemukan nama penulis buku tentang Bali yang menjadi acuan bagi mahasiswa, seperti Covarrubias, Urs Ramseyer, A.J. Bernet Kempers, dan R. Goris. Penulis-penulis tersebut adalah penulis asing yang tertarik untuk mendokumentasikan hal ihwal permasalahan Bali. Tulisannya, kemudian, secara terus-menerus dijadikan sumber acuan.

Adakalanya seorang pelancong Barat yang suka menulis, kemudian mengumpulkan data yang ditemukannya dari hasil berdialog dengan masyarakat, jadilah sebuah buku catatan perjalanan. Tetapi karena ditulis oleh orang Barat, berbahasa asing, diterbitkan di belahan dunia Barat, buku tersebut kemudian bisa dianggap sebagai buku acuan ilmiah. Anehnya, ketika mahasiswa asal Bali, mau menulis tentang Bali miliknya, buku-buku seperti tersebutlah yang kemudian diacu.

Betapa sangat bangga jika kita mendengar di Amerika ada perkumpulan gamelan, di Inggris ada dalang wayang, atau di Jerman ada perkumpulan para pesilat. Hasil budaya tradisi bangsa Indonesia dipelajari di mana-mana. Kemudian, para seniman Barat yang telah mempelajari seni tradisi Indonesia, “berani” tampil di depan halayak masyarakat pemilik kesenian tersebut. Begitu pun, bahasa Indonesia, kini telah banyak dipelajari di Australia, Jepang, dan Belgia, misalnya. Para mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di perguruan-perguruan tinggi negara tersebut, berani “berbicara” menggunakan bahasa Indonesia di negara asal bahasa tersebut.

Seseorang yang akan melanjutkan kuliah pada tingkat pascasarjana bidang sejarah harus menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa ini menjadi mutlak, karena aneka pustaka acuan wajib bidang sejarah Indonesia, ternyata, rata-rata berbahasa Belanda. Begitu pun mahasiswa pascasarjana bidang bahasa daerah, seperti yang mengambil bidang Bahasa Sunda, Jawa, dan Bali, misalnya, buku-buku acuannya juga berbahasa Belanda. Hal ini membuktikan, betapa sumber keilmuan tentang negara kita banyak yang disimpan di negeri orang. Tersimpannya dokumen tersebut di negeri orang, tentu saja, kerena semuanya ditulis, didokumentasikan oleh orang lain: bukan oleh bangsa Indonesia sendiri!

Budaya sadar-tulis bangsa kita memang masih sangat muda usianya. Pembinaan kesadaran baca-tulis pada bangsa kita, kita akui, sangat kurang. Mata ajar mengarang di sekolah-sekolah kurang diberi perhatian. Masih banyak guru dan orang tua yang lebih bangga kalau anaknya pandai matematika dibanding pandai mengarang.  

Kekayaan hasil budaya kita, kenyataannya, masih begitu banyak yang dibiarkan tak terdokumentasi. Kalau pun ada usaha pendokumentasian, hal itu masih belum sebanding dengan keanekaragaman jenis kekayaan hasil budaya kita. Menurut berita, ada seorang warga Australia yang memiliki cukup modal dan perhatian terhadap hasil kebudayaan masyarakat Bali. Dia mulai merintis pendokumentasian benda-benda tradisi milik masyarakat Bali. Menurut sumber berita tersebut, lewat kerja sama dengan beberapa orang warga Ubud, warga Australia itu berencana membangun museum alat-alat tradisional Bali. Nah!

Hal-hal menarik yang bisa kita perhatikan pada benda tradisi milik masyarakat kita adalah berkaitan dengan munculnya istilah-istilah masa kini. Produsen shampoo, sebagai contoh, punya istilah two in one, three in one, dan sejenisnya. Kemudian para produsen benda tertentu pun ikut-ikutan menghidupkan istilah tadi. Ada satu kompor yang memiliki tiga fungsi; ada thermos pemanas air; ada jar penghangat nasi, dan banyak lagi.

Masyarakat tradisi juga telah memiliki hal yang sama, hanya saja bentuknya, sejalan dengan pola perkembangan desain, masih sederhana. Ada paon (kompor kayu bakar) yang memiliki dua atau tiga lubang api. Ada “selimut” teko air yang bisa menahan panas air, yang biasa ditemukan di daerah-daerah berudara dingin. Dan, ada juga teknik memelihara hangatnya nasi dengan cara menempatkan nasi pada sejenis sokasi yang di dalamnya dilapisi daun pisang, setelah nasi diolah sedemikian rupa supaya tetap pepal.

Budaya plastik yang merebak hampir di seluruh kawasan dunia adalah salah satu jenis teknologi modern yang bisa mendesak teknologi tradisi. Ketika alat-alat rumah tangga dari bahan plastik dianggap lebih praktis, murah, dan gampang “diurus”, masyarakat cenderung meninggalkan peralatan rumah tangga tradisi yang telah ada. Ujung-ujungnya, benda-benda yang awalnya menjadi kebanggaan masyarakat, sekaligus juga sebagai  kebanggaan pembuatnya, kini, telah diganti dengan aneka benda yang memiliki desain yang lebih kompak, praktis, dan higienis (karena mudah dibersihkan).

Jika semua benda peralatan rumah tangga tradisi telah tersisih, sementara catatan tentangnya tidak pernah ada, cerita apa yang bisa diturunkan kepada generasi penerus? Apakah anak-cucu kita akan kita biarkan memiliki kebanggaan terhadap benda-benda gubahan masyarakat lain? Bali, seperti kawasan Indonesia lainnya, menyimpan begitu banyak kekayaan hasil olah pikir dan rasa masyarakat kita. Pelestarian benda-benda hasil gubahan tersebut, tidak berarti harus tetap mempertahankan keberadaannya sebagai benda pakai sehari-hari. Ketika benda-benda tadi dianggap tidak cocok lagi dengan kepentingan percepatan kerja, misalnya, paling tidak catatan khusus tentangnya tetap ada. Jika anak-anak kita masih membutuhkan dongengan sebelum tidur, ayah atau ibu akan bisa bercerita dengan mengacu kepada buku catatan tadi. “Dulu kakek moyangmu adalah seorang yang amat mahir dalam membuat ……”  

Selasa, 28 Juli 2009

OLEH-OLEH BUNAKEN

Allah Mahabesar!

Kawasan laut Bunaken, Manado, sekitar Gunung Manado Tua, ditakdirkan Allah menjadi daerah bawah laut sangat indah. Bahkan sebagai salah satu taman laut terindah di dunia!

Aneka jenis ikan hias mengisi 'aquarium raksasa' laut Bunaken. Habitat karang laut yang aneka warna dan terjaga (mudah-mudahan seterusnya) menjadi tempat yang sangat serasi dengan keindahan ikan-ikan. Lukisan rahman Allah tak akan bisa tertandingi. Tetapi manusia kerap mengganggu, bahkan merusaknya.

Bunaken National Park, 7 mil laut dari Pelabuhan motor boat Manado, sekitar 35 menit perjalanan motor boat, memang tempat yang mengundang banyak pendatang. Pulau Bunaken, awalnya sebagai pulau karang, atol, yang luasnya 887,5 Ha mulai dipagari bangunan-bangunan hotel, villa, perumahan penduduk, puskesmas, dan tempat-tempat belanja ol
eh-oleh. Manusia akan terus merambah kawasan-kawasan yang diperkirakan bisa mendatangkan kesenangan (sementara). Terutama yang bisa mendatangkan kesenangan ekonomis.

Pada bagian sisi Pulau Bunaken yang telah digarap sebagai tempat berjualan cinderamata,
telah dibangun dermaga sandar motor boat. Sejumlah kios dibangun pada
bentangan pantai yang landai. Di bagian belakang jejeran kios (kios makanan dan cinderamata) telah dibangun pula sumber informasi bagi pengunjung, berupa museum, yang dilengkapi
dengan bangunan informan penjaganya.

Sayang, keinginan mendapatkan oleh-oleh khas Bunaken tidak akan bisa kesampaian. Di sini, di tempat penjualan oleh-oleh, hanya ada T-shirt bergambar lingkungan Bunaken. Itupun, sebagian label dagangnya bertuliskan made in Malaysia. Sejumlah hasil seni kriya, berupa kalung, gelang (paling banyak jenisnya), ikat rambut, dan hiasan rumah lampu gantung, tampaknya juga didatangkan dari luar Bunaken. Tak berbeda dengan oleh-oleh yang dijual di lingkungan wisata Bali. Kain Kerawang yang menjadi kebanggaan warga Manado, juga, konon dibuat di Gorontalo. Mudah-mudahan, warga Manado sigap menanggapi kondisi tersebut. Siapapun yang datang ke objek wisata tertentu, sangat ingin membawa oleh-oleh yang khas objek wisata tersebut!





WARUGA

Menyaksikan waruga sebagai catatan purba masyarakat Manado, menyiratkan bahwa jejak pola budaya mulasara jenazah sangat beragam. Jenazah masyarakat purba Manado ditempatkan dalam wadah batu, kubur batu, sejenis sacrophagus, dalam posisi duduk melipat lutut menempel pada bagian perut dan dada. Sebuah pola "kembali ke asal" yang menggambarkan pola keberadaan bayi di dalam kandungan seorang ibu.

Kubur batu waruga, kini, hanya tinggal sebagai wadah. Tak ada satupun yang berisi jejak terang tentang catatan masa lalu. Hanya ada satu scene relief kasar yang menggambarkan bagaimana kubur batu itu di'adakan'. Relief baru pada dinding sebelah kiri lorong masuk ke kompleks pemakaman purba ini, cukup informatif menggambarkan keberadaan kubur-kubur batu tersebut. Dulu, konon, isi kubur ini lengkap dengan segala hiasan milik si mati. Itulah, setelah waktu berjalan panjang, amat panjang, isi kubur di'kuras' oleh para pejarah.

Kompleks kubur batu ini, kini, bersatu dengan kuburan dengan penciri yang sangat berbeda. Kuburan-kuburan lainnya yang baru, pada posisi lebih ke depan, ke arah tempat parkir objek wisata budaya ini, adalah kuburan dengan ciri nasrani. Kuburan-kuburan baru yang diposisikan seperti 'melindungi' situs catatan berharga ini, kawasannya lebih luas. Tidak kurang duapertiga kompleks situs ini. Dua 'buku catatan' berbeda jejak usia didampingkan sebagai gambaran keterikatan masa lalu dengan masa setelahnya. Dan, kaitan dengan masa kini adalah dalam bentuk pemuliaan situs ini sebagai kawasan yang dilindungi secara ilmiah maupun secara ekonomi.

Situs waruga kurang menjanjikan hal yang menarik bagi masyarakat umum. Pengunjung dari golongan masyarakat umum dibiarkan 'liar' tanpa ikatan informasi yang jelas. Apalagi bagi pengunjung yang berbekal latar keilmuan, yang ingin tahu "habis-habisan" tentang situs ini, kondisi tadi sangat mengecewakan!