Kamis, 31 Desember 2009

FORUM (GURU) SENI RUPA

Oleh
Jajang Suryana










Apakah guru seni rupa memerlukan forum untuk sekadar mengumpulkan keluhan (khusus) tentang masalah pembelajaran seni rupa? Atau, guru seni rupa sama sekali tidak pernah merasa memiliki masalah pembelajaran?


Ah.
Banyak guru seni rupa yang telah melanjutkan kuliah tingkat magister. Tetapi, banyakkah temuan pembelajaran yang bisa dijadikan pola ikutan baru bagi pengajar lainnya?


Di lapangan, banyak sekali kasus posisi guru seni rupa yang ditempati guru bidang studi lain yang "dianggap suka seni rupa". Mereka adalah guru yang sekadar punya perhatian terhadap kegiatan seni rupa. Latar belakang kewenangan mereka tak pernah diperhatikan. Sementara itu, begitu banyak lowongan guru seni rupa belum terpenuhi, karena sekolah tidak merasa khawatir jika di sekolah tidak ada guru seni rupa. Berbeda sekali ketika hal itu terjadi pada kekurangan guru bidang studi lainnya.


Banyak siswa yang kurang peduli terhadap mata ajar seni rupa. Mereka lebih bangga sekadar ada di kelas IPA. Hal itu didukung berat oleh orang tua siswa. 


Kasus menarik yang terbukti di lapangan. Ketika Jurusan Desain Tekstil masih ada di ITB, jurusan ini kurang diminati pendaftar. Tetapi ketika nama jurusan diganti dengan nama berbau fesyen (fashion) yang tampak glamour, jurusan ini sangat mengundang minat calon mahasiswa. Begitu pun ketika Jurusan Tata Busana di UM diganti nama dengan nama masa kini yang berbau teknologi pengolahan ...., minat calon mahasiswa sangat berubah.


Apa perlu Jurusan Seni Rupa diganti dengan nama lain yang "modern"? Seperti saudaranya yang telah banyak mengundang minat, yaitu animasi, desain komunikasi visual, fesyen, dan sebagainya?


Ah.    




Minggu, 13 Desember 2009

JANGAN BIARKAN MEREKA DIDESAK BUDAYA INSTAN

Oleh
Jajang Suryana





Merebaknya benda-benda plastik, sudah bisa dipastikan, semakin mendesak benda-benda berbahan bambu, kayu, maupun logam ringan yang dahulu pernah meraja sebagai bahan utama perkakas rumah tangga masa lalu. Wadah air, wadah beras, wadah sayur, wadah bumbu, hingga tempat penyimpanan pernak-pernik perkakas rumah tangga dan perhiasan berharga, kini, lebih didominasi benda berbahan plastik. Revolusi plastik betul-betul telah melanda semua belahan bumi. Manfaat dan madaratnya telah pula dituai oleh berbagai negara pengguna perangkat berbahan plastik ini. Kekhawatiran menumpuknya bahan unorganic ini telah pula menjadi bahan wacana serius hampir di semua belahan dunia.

Budaya instan sedang menjadi nikmat hidup sekaligus bakal malapetaka. Teknologi plastik adalah satu sisi budaya instan yang dinikmati oleh hampir semua lapisan masyarakat dunia. Keserbapraktisan benda-benda berbahan plastik yang menarik dari segi bentuk maupun gampang diperoleh dari sisi harga yang murah, telah mendesak hampir semua perangkat kerja berbahan lain di luar plastik. Barang berbahan plastik menjadi lebih rumit karena mudah pembentukannya. Di samping hal itu, barang plastik juga menjadi lebih sederhana dan “aman” karena bahannya yang ringan dan praktis. Tak begitu banyak masalah ketika seseorang ingin beralih menggunakan barang berbahan plastik, karena sejalan dengan perkembangan teknologi produksi masa kini, hampir semua jenis barang keperluan sehari-hari telah dibuat menggunakan bahan ini.  

Satu berita yang mengejutkan pernah dirilis tabloid Nova dan harian Kompas tentang bahaya barang-barang berbahan sejenis plastik, yaitu bahan melamin. Gaung kekhawatiran tentang bahaya penggunaan bahan melamin itu, kini, mulai hilang. Padahal, bahaya melamin, tentu, tidak akan hilang selagi bahan itu masih dijadikan bahan utama benda-benda pakai sehari-hari. Kecuali, jika nanti ditemukan cara lain yang aman dalam penggunaan bahan murah-meriah tadi. Salah satu yang, boleh jadi, sempat meredam kekhawatiran bahaya melamin, adalah pernyataan sejumlah orang yang dianggap ahli, yang menyatakan bahwa penggunaan benda melamin yang aman adalah ketika barang-barang itu dipakai untuk mewadahi makanan yang dingin, tidak panas. Kondisi panaslah yang memungkinkan munculnya bahaya dalam penggunaan bahan melamin.  

Satu keterampilan baru telah muncul, keterampilan mengolah bahan plastik. Barang-barang rumah tangga praktis banyak muncul sebagai desain baru perkakas rumah tangga yang murah, ringan, “modern”, tetapi cenderung gampang retak. Daur ulang plastik bekas pun telah dilakukan menghasilkan barang yang cenderung semakin buruk kualitas bahannya. Dikhawatirkan penggunaan wadah berbahan plastik bekas  yang diolah sembarangan juga akan menimbulkan akibat buruk untuk kesehatan manusia. Memang, tidak semua perkakas rumah tangga sepenuhnya bisa digantikan dengan benda berbahan plastik. Masih ada sejumlah perkakas yang tetap bertahan dengan bahan asal. Namun, berapa banyak perkakas rumah tangga yang pernah digubah oleh leluhur kita dengan berbagai desain yang fungsional, ramah lingkungan, dan di satu sisi terkait dengn pertibangan kesehatan alami, hilang tanpa bekas. Pendokumentasian prestasi hidup sebagai gambaran dapatan budaya fisik jarang kita temukan. Bersama hilangnya catatan perkakas rumah tangga masa lalu, hilang pula nama-nama barang yang dulu pernah digunakan sehari-hari. Sekalipun telah muncul pengayaan kosa kata baru terkait dengan nama-nama benda baru, sangat disayangkan kekayaan lama hilang tanpa catatan.     

Munculnya  jenis kegiatan lengkap dengan kosa kata nama kegiatannya yang baru, telah memperkaya khazanah kata-terpakai dalam kamus kebahasaan kita. Misalnya, dalam kegiatan mengolah sawah --pada zaman Orde Baru, penanaman padi menjadi salah satu jenis program penyeragaman yang dilakukan oleh Pemerintah-- pengayaan bentuk kegiatan itu seharusnya tidak menghilangkan begitu saja kegiatan dan kosa kata nama kegiatan yang sejak lama telah dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat Irian dan Flores, misalnya, yang pada awalnya cukup bercocok tanam sagu, kemudian makan olahan sagu, dianggap kurang “beradab”, karena itu harus menanam padi dan makan beras. Suatu hal yang keliru ketika muncul pikiran dan putusan untuk memaksakan penyeragaman semua urusan penduduk suatu negara yang tinggal dalam beragam lingkungan. Oleh karena itu, putusan keliru itu telah banyak melepaskan masyarakat dari keterikatan dengan kekayaan budaya daerahnya, kemudian dipaksa harus memamah nilai-nilai kebudayaan masyarakat di luar lingkungannya. Penghilangan nilai-nilai kekayaan hasil olah pikir, rasa, dan respons aktif fungsional terhadap lingkungan itu telah dilakukan dari segala arah. 

Budaya berhuma, mengolah tegalan, mengurus balong (kolam ikan besar), merburu binatang (jenis ikan, burung, binatang berkaki empat), memelihara ternak, dan menyadap pohon, misalnya, telah hilang pula, lengkap beserta kosa kata nama-nama kegiatannya. Generasi muda masa kini, boleh jadi tidak akan mengetahui lagi aneka kegiatan yang pernah dicapai secara gemilang oleh para pendahulunya, orang tuanya, para leluhurnya. Anak-anak masa kini yang lebih akrab dengan kegiatan-kegiatan hasil comotan dari belahan dunia lain, dalam kegiatan bermain, telah juga kehilangan kreativitas mereka dalam mengeksplorasi alam untuk menemukan jenis permainan yang menyenangkan, akrab lingkungan, menyehatkan, dan --tentu-- lebih bermanfaat bagi mereka.  

Di berbagai daerah Indonesia pernah ditemukan aneka kegiatan olah budaya materi yang sangat mengagumkan. Pada tataran tertentu, kesungguhan masyarakat masa lalu telah membawa keberhasilan yang bisa ditunjuk sebagai prestasi pamuncak yang dikenal kemudian dengan sebutan klasik. Istilah-istilah, yang ditemukan di lingkungan kegiatan masyarakat Jawa Barat sebagai salah satu dari sedikit contoh, seperti nyangling, matri, ngecor, nyepuh, ngeling, neger, nyuntik, jidat, kepeng, balincong, abuban (istilah-istilah teknis dan alat dalam kegiatan kriya logam); ngareueuy, mitembeyan, nyeuweu, ngawengku, marak, coban, barera, heurap, kecrik, sirib, lambit, jeujeur, kempis, posong (istilah teknis dan alat dalam kegiatan kriya pembuatan perkakas perikanan); dan masih banyak lagi, telah mulai hilang. Sebagian masyarakat tidak terikat lagi dengan kegiatan-kegiatan dimaksud. Begitupun yang terjadi di kawasan daerah lainnya. Kondisi tersebut, jika dikumpulkan, akan menjadi akumulasi kehilangan nasional yang sangat menakjubkan. Anehnya, banyak anggota masyarakat yang tidak merasa kehilangan, bahkan sangat suka cita menerima budaya baru milik bangsa lain.        

Dalam bidang budaya materi yang lebih besar, yang tampak sebagai bagian dari maysarakat luas, misalnya bidang arsitektur, khazanah ilmiah kita telah kehilangan banyak hal. Dulu, masyarakat desa telah mengenal teknologi ramah lingkungan dan sangat sesuai dengan kondisi alam. Di Jawa Barat, sebagai contoh utama yang dijadikan kasus oleh penulis, karena pengetahuan penulis tentang kekayaan budaya materi daerah lain sangat terbatas, masyarakat telah mulai kehilangan sebutan cukang, rawayan, pameuntasan, untuk istilah sejenis jembatan. Rata-rata telah berganti dengan model cukang yang baru, yaitu jembatan dari beton. Boleh jadi hal itu terkait dengan perubahan alam yang juga diakibatkan oleh ulah manusia. Hilangnya sungai kecil (kakalen, susukan, solokan, dan sebutan lain yang menunjukkan ukuran sungai) karena pendangkalan dan perusakan lahan, diperkirakan telah turut menyebabkan hilangnya tekonologi perkakas penyeberangan tradisional yang unik itu.