Oleh Jajang Suryana
Membaca sejumlah buku tentang Bali, kita akan terhenyak, ternyata penulisnya adalah para Bule. Anda bangga karena masalah Bali ditangani orang lain? Atau, Anda langsung sesumbar, “Hebat, Bali dikenal dan diperhatikan oleh orang-orang mancanegara!”. Nanti dulu. Mari berpikir rasional.
Dalam setiap kali memberi kuliah tentang kesenian, khususnya seni rupa, saya selalu menemukan nama penulis buku tentang Bali yang menjadi acuan bagi mahasiswa, seperti Covarrubias, Urs Ramseyer, A.J. Bernet Kempers, dan R. Goris. Penulis-penulis tersebut adalah penulis asing yang tertarik untuk mendokumentasikan hal ihwal permasalahan Bali. Tulisannya, kemudian, secara terus-menerus dijadikan sumber acuan.
Adakalanya seorang pelancong Barat yang suka menulis, kemudian mengumpulkan data yang ditemukannya dari hasil berdialog dengan masyarakat, jadilah sebuah buku catatan perjalanan. Tetapi karena ditulis oleh orang Barat, berbahasa asing, diterbitkan di belahan dunia Barat, buku tersebut kemudian bisa dianggap sebagai buku acuan ilmiah. Anehnya, ketika mahasiswa asal Bali, mau menulis tentang Bali miliknya, buku-buku seperti tersebutlah yang kemudian diacu.
Betapa sangat bangga jika kita mendengar di Amerika ada perkumpulan gamelan, di Inggris ada dalang wayang, atau di Jerman ada perkumpulan para pesilat. Hasil budaya tradisi bangsa Indonesia dipelajari di mana-mana. Kemudian, para seniman Barat yang telah mempelajari seni tradisi Indonesia, “berani” tampil di depan halayak masyarakat pemilik kesenian tersebut. Begitu pun, bahasa Indonesia, kini telah banyak dipelajari di Australia, Jepang, dan Belgia, misalnya. Para mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di perguruan-perguruan tinggi negara tersebut, berani “berbicara” menggunakan bahasa Indonesia di negara asal bahasa tersebut.
Seseorang yang akan melanjutkan kuliah pada tingkat pascasarjana bidang sejarah harus menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa ini menjadi mutlak, karena aneka pustaka acuan wajib bidang sejarah Indonesia, ternyata, rata-rata berbahasa Belanda. Begitu pun mahasiswa pascasarjana bidang bahasa daerah, seperti yang mengambil bidang Bahasa Sunda, Jawa, dan Bali, misalnya, buku-buku acuannya juga berbahasa Belanda. Hal ini membuktikan, betapa sumber keilmuan tentang negara kita banyak yang disimpan di negeri orang. Tersimpannya dokumen tersebut di negeri orang, tentu saja, kerena semuanya ditulis, didokumentasikan oleh orang lain: bukan oleh bangsa Indonesia sendiri!
Budaya sadar-tulis bangsa kita memang masih sangat muda usianya. Pembinaan kesadaran baca-tulis pada bangsa kita, kita akui, sangat kurang. Mata ajar mengarang di sekolah-sekolah kurang diberi perhatian. Masih banyak guru dan orang tua yang lebih bangga kalau anaknya pandai matematika dibanding pandai mengarang.
Kekayaan hasil budaya kita, kenyataannya, masih begitu banyak yang dibiarkan tak terdokumentasi. Kalau pun ada usaha pendokumentasian, hal itu masih belum sebanding dengan keanekaragaman jenis kekayaan hasil budaya kita. Menurut berita, ada seorang warga Australia yang memiliki cukup modal dan perhatian terhadap hasil kebudayaan masyarakat Bali. Dia mulai merintis pendokumentasian benda-benda tradisi milik masyarakat Bali. Menurut sumber berita tersebut, lewat kerja sama dengan beberapa orang warga Ubud, warga Australia itu berencana membangun museum alat-alat tradisional Bali. Nah!
Hal-hal menarik yang bisa kita perhatikan pada benda tradisi milik masyarakat kita adalah berkaitan dengan munculnya istilah-istilah masa kini. Produsen shampoo, sebagai contoh, punya istilah two in one, three in one, dan sejenisnya. Kemudian para produsen benda tertentu pun ikut-ikutan menghidupkan istilah tadi. Ada satu kompor yang memiliki tiga fungsi; ada thermos pemanas air; ada jar penghangat nasi, dan banyak lagi.
Masyarakat tradisi juga telah memiliki hal yang sama, hanya saja bentuknya, sejalan dengan pola perkembangan desain, masih sederhana. Ada paon (kompor kayu bakar) yang memiliki dua atau tiga lubang api. Ada “selimut” teko air yang bisa menahan panas air, yang biasa ditemukan di daerah-daerah berudara dingin. Dan, ada juga teknik memelihara hangatnya nasi dengan cara menempatkan nasi pada sejenis sokasi yang di dalamnya dilapisi daun pisang, setelah nasi diolah sedemikian rupa supaya tetap pepal.
Budaya plastik yang merebak hampir di seluruh kawasan dunia adalah salah satu jenis teknologi modern yang bisa mendesak teknologi tradisi. Ketika alat-alat rumah tangga dari bahan plastik dianggap lebih praktis, murah, dan gampang “diurus”, masyarakat cenderung meninggalkan peralatan rumah tangga tradisi yang telah ada. Ujung-ujungnya, benda-benda yang awalnya menjadi kebanggaan masyarakat, sekaligus juga sebagai kebanggaan pembuatnya, kini, telah diganti dengan aneka benda yang memiliki desain yang lebih kompak, praktis, dan higienis (karena mudah dibersihkan).
Jika semua benda peralatan rumah tangga tradisi telah tersisih, sementara catatan tentangnya tidak pernah ada, cerita apa yang bisa diturunkan kepada generasi penerus? Apakah anak-cucu kita akan kita biarkan memiliki kebanggaan terhadap benda-benda gubahan masyarakat lain? Bali, seperti kawasan Indonesia lainnya, menyimpan begitu banyak kekayaan hasil olah pikir dan rasa masyarakat kita. Pelestarian benda-benda hasil gubahan tersebut, tidak berarti harus tetap mempertahankan keberadaannya sebagai benda pakai sehari-hari. Ketika benda-benda tadi dianggap tidak cocok lagi dengan kepentingan percepatan kerja, misalnya, paling tidak catatan khusus tentangnya tetap ada. Jika anak-anak kita masih membutuhkan dongengan sebelum tidur, ayah atau ibu akan bisa bercerita dengan mengacu kepada buku catatan tadi. “Dulu kakek moyangmu adalah seorang yang amat mahir dalam membuat ……”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar