Sabtu, 03 Oktober 2009

MENGOREK GOLEK

Oleh Jajang Suryana


Masih banyak masyarakat yang mendukung jenis kesenian tradisi tertentu. Salah satu di antara seni tradisi lama yang hingga kini masih cukup banyak disukai masyarakat adalah wayang. Dan, wayang golek adalah sebuah fenomena seni tradisi yang banyak memiliki catatan menarik.

Wayang dikenal oleh kebanyakan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Juga oleh sebagian masyarakat Sumatera bagian Selatan, sebagian masyarakat Kalimantan, dan sebagian masyarakat Lombok. Dengan berkembangnya media massa, terutama media pandang-dengar, seperti televisi, wayang semakin dikenal. Tayangan wayang melalui televisi bisa sampai kepada para penonton di berbagai pelosok tanah air. Program transmigrasi yang telah berjalan cukup lama, tak bisa disangkal, turut memberi sumbangan penting dalam menyebarkan pengenalan wayang kepada masyarakat tujuan transmigrasi.

Wayang golek adalah satu di antara sekitar 40 jenis wayang --lebih dari setengahnya telah punah-- yang ada di Indonesia. Wayang golek, sejak kelahirannya, telah memberi kesan yang lebih khusus kepada penikmatnya. Raut wayang golek yang trimatra menghadirkan gambaran tokoh yang lebih hidup ketimbang yang digambarkan lewat wayang dwimatra, seperti wayang kulit. Gerak boneka golek bisa diolah sealamiah mungkin oleh para dalang yang piawai. Sehingga, penonton pertunjukan golek dapat merasakan watak setiap tokoh sesuai cerita dalam sabetan yang dipertunjukkan dalang.

Berdasarkan unsur cerita yang digunakan dalang dalam mempertunjukan wayang golek, wayang ini bisa dibagi ke dalam beberapa jenis. Wayang menak adalah jenis wayang golek yang digunakan untuk menyampaikan cerita menak atau cerita Amir Hamzah. Di daerah Cirebon, jenis wayang ini disebut wayang golek papak atau cepak. Golek yang biasa dipakai bercerita tentang lakon Mahabharata dan Ramayana disebut wayang golek purwa. Selain itu ada juga golek yang berunsur cerita Pasundan, seperti cerita Lutung Kasarung, namanya golek pakuan.

Seperti jenis wayang lainnya, wayang golek melewati masa perubahan: perubahan raut, bahan pembuatan, dan hiasan. Perubahan raut dan hiasan, terutama bisa diperiksa pada bagian kepalanya. Kepala golek beserta unsur-unsur hias- annya adalah bagian terpenting yang bisa digunakan untuk mengenal jenis wa- yang golek dan tokoh yang diperankan boneka tersebut. Perubahan bahan pem- buatan lebih banyak berhubungan dengan pertimbangan ketersediaan bahan dan keterpakaian golek tersebut. Golek-golek pertunjukan biasanya dibuat dari bahan kayu lame. Tetapi, pada masa sekarang, banyak golek yang dibuat dari bahan kayu albasia, jeungjing atau sengon. Jenis kayu jeungjing inilah yang kini banyak digunakan untuk membuat golek, terutama golek hiasan.

Menjelang masa jabatan sebagai bupati Kabupaten Bandung hampir berakhir, tahun 1840-an, Wiranata Koesoemah III atau Dalem Karang Anyar merintahkan kepada Ki Darman untuk menciptakan jenis wayang purwa baru yang berbeda dengan wayang kulit yang sudah ada. Dalem meminta wayang yang terbuat dari bahan kayu, yaitu wayang golek. Pada awal perancangannya, kepala golek dibuat agak gepeng. Hal ini bertalian dengan latar belakang pengalaman Ki Darman sebagai juru wayang kulit (pembuat wayang kulit) dari Tegal yang tinggal di daerah Cibiru, Kabupaten Bandung. Raut wayang kulit yang dwimatra masih memberi pengaruh kepada raut boneka golek hasil rancangannya. Peran Bupati Kabupaten Bandung sangat penting dalam lahirnya jenis wayang baru ini. Sebagai pejabat pemerintahan yang sekaligus pengayom seniman, pencetus ide bagi lahirnya raut wayang baru, dia selalu telaten memantau pencarian Ki Darman. Munculnya unsur-unsur perubahan awal pada raut golek banyak bersumber dari gagasannya. Golek yang membulat, bulat torak, seperti yang kita nikmati saat ini merupakan hasil perpaduan gagasan dan pencarian antara Wiranata Koesoemah III dengan Ki Darman.

Ki Darman menurunkan keterampilan membuat wayang golek kepada anak-anak dan cucunya. Beberapa anaknya yang masih hidup --saat tulisan ini dibuat-- sudah berhenti membuat golek. Sejumlah cucunya yang tinggal di Cibiru maupun di luar Cibiru, seperti di Ujung Berung dan Cimareme, masih terus berkarya memenuhi permintaan para dalang. Daerah Cibiru kemudian dikenal sebagai pusat pertumbuhan wayang golek purwa. Oleh karena itu, Ki Darman pun memiliki banyak murid. Murid-murid Ki Darman, setelah magang di Cibiru, mengembangkan kegiatan pembuatan wayang golek di daerah lain, seperti di Bogor, Sukabumi, Karawang, Padalarang, Cimahi, Bandung, Ciparay, Garut, dan Ciamis. Selanjutnya nama Cibiru menjadi nama sebuah gaya pembuatan golek, karena pada pertumbuhannya muncul banyak gaya pembuatan golek yang mengambil nama daerah pembuatannya.

Gaya Cibiru atau Cibiruan tetap menjadi acuan. Gaya ini bisa dipilah menjadi dua: Cibiru Lama dan Cibiru Baru. Gaya Cibiru Lama masih dipertahankan oleh sebagian juru golek. Ciri yang mencolok bisa dilihat pada bagian kepala golek yang kurang membulat, dan warna hiasan kepala yang cenderung mengarah ke hijau dan prada, brom, atau kuning emas. Gaya Cibiru Baru pada dasarnya merupakan pelanjutan penggunaan ciri-ciri Cibiru Lama. Perbedaan yang tampak menonjol adalah pada hiasan bunga berwarna cerah, hiasan "sablonan" dengan warna mengarah ke warna ungu dan merah, serta kepala golék yang lebih membulat.

Peran serta para dalang kondang dan para pejabat kesenian yang memiliki banyak perhatian terhadap golek dengan juru golek, melahirkan beberapa pembaruan untuk menyempurnakan raut wayang ini. Trend gaya pembuatan golek sering muncul dari keterlibatan mereka. Para dalang Giriharja, kini banyak mengarahkan kecenderungan tersebut. Mereka, setelah Gebrakan 80-an, yaitu pertunjukan wayang golek yang memanfaatkan penemuan teknik baru dalam "menghidupkan" boneka golek, telah menjadi ikutan dalam pembuatan golek.

Kepiawaian para juru golek dalam menghadirkan sosok boneka golek dengan segala ciri pribadi tokohnya merupakan misteri yang belum terjawab. Hasil penelitian tahun 1995 menunjukkan, buku yang membahas wayang golek bisa dikatakan tidak ada. Museum Negeri "Sri Baduga" Jawa Barat belum memiliki satu pun buku yang mengungkap pembuatan golek ini. Begitu juga Perpustakaan Wilayah Jawa Barat. Hasil penelitian yang membahas keberadaan wayang golek purwa (bukan unsur ceritanya) baru ada dua buah. Djauhari Sutarman (1968) pernah meneliti Wayang Golek Purwa Pada Masyarakat Sunda, yaitu sebuah tinjauan dan saran-saran dari segi seni rupa, untuk laporan skripsinya. Jajang Suryana (1995) meneliti Raut Wayang Golek Sunda Ditinjau Dari Latar Bela-kang Watak Tokoh untuk laporan tesis (kini telah siap untuk diterbitkan). Kedua laporan penelitian tersebut ada di Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Ban-dung dan di Perpustakaan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Museum Wa- yang Jakarta Kota, yang sepantasnya menyediakan informasi tertulis di samping informasi kebendaan tentang aneka jenis wayang, hingga tulisan ini dibuat be- lum memiliki pustaka yang membahas wayang golek.

Kenyataan tersebut merupakan tantangan yang harus segera dijawab. Pencatatan salah satu kepiawaian masyarakat Jawa Barat ini perlu segera dilaksanakan. Begitu banyak kepandaian bangsa Indonesia yang tidak sempat tercatat sebagai buku, padahal jenis keprigelan tersebut sebagian besar telah hilang. Orang Sunda, khususnya, boleh jadi banyak yang masih merasa bahwa “elmu lain tina daluang tapi ti pada urang” (ilmu bukan dari buku tapi langsung dari orang) itu masih perlu dipertahankan. Tampaknya, dalam penurunan keterampilan ihwal pembuatan golek pun, pakem tidak pernah ditulis sebagai aturan yang jelas tertulis. Oleh karena itu, pembuatan boneka golek seolah-olah tidak diikat pakem seperti dalam wayang kulit. Bisa dibuktikan, tokoh Gatot Kaca satu di antaranya, bisa dibuat berbeda ukuran, warna pakaian, dan hiasan.

Catatan tentang golek yang lebih lengkap adalah yang dibuat oleh Peter Buurman, seorang penulis berkebangsaan Belanda (1984). Dalam buku Wayang Golek De Fascinerende Wereld Van Het Klassieke West-Javaanse Poppenspel itu tercatat lumayan banyak informasi tentang golek masa lalu. Sedang kan buku tulisan Mas Adung Salmun dan Atik Supadi, hanya menyoroti masalah pedalangan. Padahal, dalang tanpa golek, mungkin, tak bisa manggung. Golek tanpa dalang, masih bisa tampil sebagai karya seni rupa yang mandiri. Perlu ada kerja sama antara ahli seni rupa dengan ahli pedalangan untuk membuat catatan lengkap tentang golek ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar