Rabu, 05 Juni 2013

FENOMENA PENDIDIKAN SENI

Oleh Jajang Suryana


Pendidikan seni, selama ini, selalu dianggap sebagai pendidikan rasa semata. Semua karya seni seakan-akan produk olah rasa. Anggapan bahwa kondisi proses kerja bidang “keilmuan” steril dari pengaruh rasa, juga menjadi keyakinan banyak ilmuwan. Padahal, proses kreasi bidang apapun, jalannya sama. Lahirnya ide tentang rumus matematika dan fisika, melalui jalur jalan yang sama dengan lahirnya ide tentang bentuk benda keramik maupun jalinan lembar anyaman. Ada kekuatan yang mendorong seseorang untuk mengolah rasa, pikir, juga kesadaran tentang lingkungannya yang memotori lahirnya untaian kata pembentuk puisi atau cerita novel; reka bentuk pesawat ulang-alik; maupun rancangan manajemen kerja sebuah perusahaan. Kekuatan itu adalah kekuatan Yang Maha Kuasa yang tidak pernah pilih-kasih menginspirasi siapa dan orang mana yang akan mendapatkan kemudian mengolahnya. Pendidikan seni adalah pendidikan keilmuan yang lain, yang disadari kini, hanya memerlukan belahan otak yang berbeda dengan pendidikan sains. Seni sebagai bahan bahasan keilmuan, seperti sains yang telah lebih dahulu diakui keberadaannya, sangat memerlukan penyikapan khusus dari pelaku, pemerhati, maupun para ilmuwan.

Pendidikan seni kerap menjadi korban kebijakan. Ketika mata pelajaran lainnya yang dianggap “penting menjadi bekal hidup seorang siswa” memerlukan jam pembelajaran tambahan, yang menjadi sasaran pertama pemangkasan jatah jam pembelajaran di antaranya pendidikan seni. Begitupun, ketika guru pendidikan seni belum tersedia, pengelola sekolah tidak pernah merasa resah dibanding ketika tidak ada guru matematika, biologi, geografi, dan sejenisnya. Guru pendidikan seni dianggap bisa dirangkap oleh guru bidang pelajaran lainnya. Ada guru agama, olah raga, ekonomi, juga kimia atau bahasa, yang merangkap mata pelajaran pendidikan seni. Hasil pembelajaran berupa nilai akhir dalam raport pun kerap menjadi korban untuk menambah angka nilai mata pelejaran lainnya agar siswa tertentu bisa dianggap layak naik kelas.

Hasil penelitian tahun 2001, sebelum terjadi Bom Bali I dan II, 83,5% lebih PDRB Bali disokong oleh hasil penjualan benda-benda seni rupa. Itu yang tercatat secara resmi di Deperindag Bali. Banyak hasil penjualan benda seni rupa yang tidak tercatat secara resmi, bahkan begitu banyak yang sengaja disembunyikan dari amatan publik. Gambaran kesejahteraan masyarkat melalui pengeloaan hasil olah seni tersebut belum disadari oleh Pemerintah. Pemerintah daerah belum banyak memperhatikan keberadaan seni beserta kondisi dan individu yang terlibat di dalamnya sebagai aset daerah yang harus dihargai tinggi. Bali menjadi sangat unik sebagai destinasi wisata dunia bukan semata karena keindahan alamnya. Keindahan alam bisa dikatakan sebagai kekayaan anugerah Tuhan yang merata dibagikan hampir kepada semua kawasan Bumi. Tetapi khusus Bali, di sampping memiliki kekayaan keindahan alam, Bali juga memiliki aktivitas dan produk seni yang menyertai keindahan alamnya. Dan, itulah yang menyokong besaran jumlah PDRB Bali. Sekali lagi, Pemerintah masih belum menyikapi secara positif modal utama daerah tersebut. Posisi seni, pelaku seni, dan pendidikan seni, masih ditempatkan pada aras yang kurang berharga. Bahkan masih banyak yang mengaggap sepele. Sampai kapan?