Oleh Jajang Suryana
Kita begitu yakin, berdasarkan buku-buku sumber sejarah yang diwariskan oleh Belanda, bahwa bangsa Indonesia adalah murni sebagai petani. Keyakinan tersebut didukung oleh kenyataan masa kini yang dilengkapi bukti bahwa keterkaitan dengan urusan kerja-tani tampak di mana-mana. Sedangkan, kerja-laut hanya tampak pada sebagian kecil masyarakat kita. Padahal, sejak awal, ketika Belanda dan bangsa lain yang kemudian menjajah masyarakat Indonesia mulai memasuki kawasan Nusantara, bangsa kita adalah pelaut-pelaut ulung yang aktif.
Periksalah kawasan Kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan “perairan” itu pernah berjaya mempersatukan kawasan Nusantara. Laut, ketika itu, bukan menjadi penghalang, pemisah. Laut adalah pemersatu pulau-pulau Nusantara. Bisa diperiksa juga hasil inderaja (penginderaan jarak jauh) situs Trowulan. Ternyata, air telah menjadi sarana jalan penghubung yang sangat vital pada masa jaya kerajaan tersebut. Dan, perahu adalah kendaraan kebanggaan, seperti sepeda motor dan mobil pada masa sekarang.
“Keyakinan” bahwa masyarakat Indonesia adalah petani murni, memberi dampak ketidakseimbangan perhatian kita terhadap lahan hidup yang menjadi kekayaan tak ternilai milik masyarakat Indonesia. Lahan darat seolah dibanggakan menjadi tempat paling utama yang “memberi hidup” bangsa kita. Memang alam daratan Indonesia sangat bisa meyakinkan siapa pun bahwa bangsa kita adalah petani ulung, pengolah tanah yang piawai. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hanya petani gurem yang cenderung dijerat para tengkulak. Apalagi ketika pemberlakuan “penyeragaman” pola tanam dan jenis tanam berlangsung sangat politis. Para petani hanyalah menjadi objek penderita bagi keuntungan para pemodal, para orang kota. Cokelat ditanam di mana-mana, hasilnya karena terlalu banyak kemudian ditimbun. Oleh karena itu harganya menjadi murah. Begitu pun dengan nasib pohon cengkih, vanilli, jeruk, kelapa sawit, dan bahkan padi. Orang Papua, misalnya, diharuskan menanam padi. Para transmigran ahli-mengolah sawah dikirim ke tanah Cenderawasih. Alasan penganekaragaman sumber hayati menjadi pegangan utama Pemerintah saat itu. Masyarakat yang terkena projek transmigrasi bisa berganti pola makan, meniru pola makan para transmigran, atau dipaksa menyesuaikan diri dengan pola projek. Yang dulu makan sagu, kini makan nasi. Masyarakat kota-kota besar, lebih khusus masyarakat ibu kota, tetap dalam pola lama. Kalaupun berubah, perubahannya mengacu kepada pola Barat, pola yang kurang membumi. Pola “kesatuan” telah disistematisasikan menjadi pasungan bagi kebhinnekaan. Begitu menurut para ahli.
Peribahasa lama yang berbunyi “bebek berenang mau minum mencari air”, jika dikaitkan dengan keberadaan bangsa Indonesia menjadi sangat pas. Gambaran menyakitkan itu telah tampak pada para petani Indonesia yang piawai mengolah tanah tetapi tak bisa mendapatkan hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah mengapa, beras harus didatangkan dari Jepang dan Thailand. Begitu pun hasil projek sensasional, dahulu, IPTN kemudian hanya untuk ditukar kedelai. Yang paling menyakitkan bagi para petani, ketika mereka panen, ada saja oknum orang kaya, oknum pemerintah, yang merusak “kebahagiaan” para wong cilik itu, misalnya dengan mengimpor beras dari luar negeri. Masya Allah!
Soekarno pernah mengingatkan kondisi negara kita dengan istilah kawasan yang “hijau royo-royo”. Ya, negara yang tanahnya hijau royo-royo itu tidak memberi kesempatan hidup makmur kepada pemiliknya. Kecintaan terhadap tanah Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, juga tidak tampak. Begitu banyak para penikmat kehidupan instan yang sangat suka membabat hutan untuk kepentingan instan juga, untuk kepentingan sesaat, kepentingan diri sendiri dan kelompoknya yang sangat terbatas. Itulah, sejak dahulu kita belum betul-betul punya konsep pendidikan penghargaan yang mantap, yang bisa menumbuhkan rasa tanggung jawab kepemilikan terhadap bumi pertiwi. Yang banyak tumbuh justru rasa memiliki yang tidak bertanggung jawab, rasa memiliki yang terlalu bersifat pribadi.
Lalu, kesadaran baru pernah dimunculkan. “Kita memiliki hamparan laut yang sangat luas. Di dalamnya terkandung aneka jenis ikan yang bisa membikin masyarakat Indonesia tidak akan kelaparan. “Laut itu harus diolah. Jangan sampai dijarah bangsa lain”, demikian antara lain pernyataan para ahli. Tetapi kenyatannya, sudah sekian lama laut kita menjadi ladang subur bagi para pencari ikan bangsa lain. Entah “legal” entah mencuri. Para nelayan negeri tetangga kerap rajin mengeruk kekayaan laut Indonesia. Sedangkan para nelayan asli bangsa kita, yang peralatan kelautannya masih sangat sederhana, karena tidak pernah mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah, keberadaannya tetap dalam kondisi miskin. Sekali waktu panen ikan, ikan-ikan yang melimpah tak bisa diolah. Sungguh sangat menyakitkan.
Konon, daerah perairan samudera sekitar Nusa Kambangan adalah lahan berkeliarannya para ikan tuna kelas terbaik. Lahan itu, tentu saja sangat menjanjikan bagi para nelayan kita. Tetapi, nelayan asing juga yang kemudian menikmatinya. Nelayan kita tetap kalah terampil, karena ketidakmampuan peralatan. Yang aneh, mengapa nelayan asing bisa mengeruk kekayaan laut kita. ”Pengamanan laut kita belum optimal”, kata para ahli. Angkatan laut kita belum mampu mengamankan kawasan laut yang demikian luas bentangannya. Lalu, sampai di situ saja solusi jawabannya? Mengapa tidak diamankan saja lebih ketat (sementara) bagian bentangan samudera yang telah diketahui isi dan kandungannya? Mengamankan yang sedikit, tetapi telah jelas isinya, lebih arif ketimbang menunggu memiliki kemampuan mengamanakan seluruh wilayah Nusantara yang begitu luas itu.
Sudah sejak masa Nusantara Lama laut dianggap sebagai pemersatu, bukan pemisah nusa-antara, pulau-pulau kepulauan Indonesia kini. Lautan adalah bagian integral dari bumi Nusantara. Seorang raja Jawa gampang saja lari ke Sumatera atau Kalimantan untuk menjadi raja di tempat pelariannya. Atau sebaliknya. Kedekatan penghuni pulau-pulau Nusantara, dulu, sangat erat. Bahkan, mereka sekerabat. Ya, laut telah begitu akrab dengan mereka. Kini, setelah laut hampir banyak dilupakan, kekerabatan itu hampir-hampir terputus.
Catatan sejarah bangsa Indonesia memang tak lurus. Berita yang dikandung buku-buku informasi kesejarahan tak jernih. Bahkan ada sejenis missing link. Generasi masa kini menjadi bingung menelusuri daerah missing tersebut. Bisa diperiksa, catatan sejarah tentang kerajaan masa lalu hanya menceritakan raja Anu berkuasa dari tahun sekian hingga tahun sekian. Raja Anu yang lain wafat tahun sekian, diganti oleh raja Anu keturuanannya. Peninggalan kerajaan Anu adalah bangunan megah, patung-patung, atau benda-benda yang kelihatan saja. Sementara cerita tentang kepiawaian masyarakatnya, kekayaan negaranya, kemajuan ekonominya, ketangkasan pikir masyarakatnya, tidak pernah diceritakan dalam buku-buku sejarah tersebut. Kita telah kehilangan catatan penting tentang masyarakat Indonesia masa lalu. Akanklah catatan tak lengkap itu diwariskan lagi kepada generasi setelah kita?
Lalu, para sastrawan bagaimana? Pernahkah mereka berpikir untuk bercerita panjang lebar tentang kekayaan masyarakat di sekitar kehidupannya? Tampaknya setali tiga uang dengan kondisi kesulitan lainnya. Ketika para sastrawan mau bercerita tentang berbagai kekayaan milik negara, mereka, pada waktu tertentu, diberangus oleh para panguasa. Hasil karya mereka dikebiri agar “tidak meresahkan masyarakat”. Ketika zaman telah memberi jalan kebebasan berbicara dalam berbagai jalur komunikasi, kesempatan itu dipakai untuk berbagai keburukan yang menguntungkan kelompok tertentu saja. Rakyat selalu menjadi bantalan kesewenang-wenangan para penguasa: ekonomi, politik, maupun pengaruh-pengaruh lainnya. Kalaupun buku telah ada, sulit sekali mengajak masyarakat yang telah kelimpungan dengan aneka kesulitan hidup. Bagi mereka yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya, dan hal itu banyak dialami oleh masyarakat kebanyakan bangsa Indonesia masa kini, berpikir jauh ke depan menjadi sangat sulit. Usaha yang dekat, “untuk makan hari ini”, menjadi upaya utama yang harus mereka kejar. Lalu, para pemimpin bangsa yang --katanya-- tampil meminta dukungan kepada rakyat, untuk memperjuangkan hak rakyat, setelah didukung malah menjadi sangat jauh dari rakyat. Mereka lebih mementingkan kebutuhan pribadi, kelompok terbatas, atau sekadar mengembalikan modal yang telah mereka gadaikan. Lagi-lagi rakyat berada pada posisi yang tak bisa banyak berbuat untuk mengolah pikir yang jauh.
Allah Mahakuasa. Allah Mahamemiliki. Semua yang dianugerahkan kepada manusia adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tak ada tanggung jawab manusia yang lewat dari catatan Allah. “Jika Allah ridho, atau sekadar berkenan, Allah akan menunjukkan sesuatu yang terbaik untuk mahlukNya. Kini, besok, atau nanti pada masa depan”.