Oleh Jajang Suryana
“Tak ada juru golek yang kaya. Tak ada juru golek yang terkenal”. Pernyataan itu banyak benarnya. Seorang juru golek, pembuat boneka golek, selalu saja berada dalam kondisi sulit. Mereka bisa berkarya jika ada pesanan. Sementara para pengguna hasil karya juru golek, para dalang golek, bisa hidup dalam kondisi serba cukup. Bahkan, dalang golek terkenal, satu kali “manggung” --pada masa ramai, seminggu bisa manggung hingga 3 kali-- bisa menangguk bayaran di atas 7-10 juta rupiah.
Desa Cibiru, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dikenal sebagai tempat kelahiran boneka golek. Ki Darman, yang diakui sebagai penggubah raut golek pertama atas permintaan Bupati Bandung Wiranata Koesoemah III pada akhir masa jabatannya, tahun 1840-an, adalah sebagai juru golek yang tercatat dalam buku sejarah golek Jawa Barat. Ia dikenal karena kepeloporannya dalam menghadirkan bentuk-bentuk boneka golek seperti yang ada kini. Keberadaan boneka golek tentu selalu terkait dengan catatan perubahan-perubahan. Bahkan, hingga kini dikenal paling tidak ada 5 gaya golek. Semua gaya itu lahir atas prakarsa juru golek tertentu. Namun, tampaknya, penggagas gaya itu belum begitu dikenal masyarakat pemerhati golek.
Seorang M. Duyeh misalnya, baru bisa menarik nafas panjang ketika ada dalang terkenal yang memesan golek buatannya. Sebagai seorang juru golek yang banyak memiliki gagasan ideal, karyanya banyak terpakai oleh para dalang. Golek buatan M. Duyeh memang halus dan enak-pakai untuk pertunjukan. Oleh karena itu, banyak dalang yang mempercayakan pembuatan golek kepadanya.
Inilah salah satu karakter Gatot Kaca karya M. Duyeh.