Oleh Jajang Suryana
Pendidikan
seni, selama ini, selalu dianggap sebagai pendidikan rasa semata. Semua karya
seni seakan-akan produk olah rasa. Anggapan bahwa kondisi proses kerja bidang “keilmuan”
steril dari pengaruh rasa, juga menjadi keyakinan banyak ilmuwan. Padahal,
proses kreasi bidang apapun, jalannya sama. Lahirnya ide tentang rumus
matematika dan fisika, melalui jalur jalan yang sama dengan lahirnya ide
tentang bentuk benda keramik maupun jalinan lembar anyaman. Ada kekuatan yang
mendorong seseorang untuk mengolah rasa, pikir, juga kesadaran tentang
lingkungannya yang memotori lahirnya untaian kata pembentuk puisi atau cerita
novel; reka bentuk pesawat ulang-alik; maupun rancangan manajemen kerja sebuah
perusahaan. Kekuatan itu adalah kekuatan Yang Maha Kuasa yang tidak pernah
pilih-kasih menginspirasi siapa dan orang mana yang akan mendapatkan kemudian
mengolahnya. Pendidikan seni adalah pendidikan keilmuan yang lain, yang
disadari kini, hanya memerlukan belahan otak yang berbeda dengan pendidikan
sains. Seni sebagai bahan bahasan keilmuan, seperti sains yang telah lebih
dahulu diakui keberadaannya, sangat memerlukan penyikapan khusus dari pelaku,
pemerhati, maupun para ilmuwan.
Pendidikan
seni kerap menjadi korban kebijakan. Ketika mata pelajaran lainnya yang
dianggap “penting menjadi bekal hidup seorang siswa” memerlukan jam
pembelajaran tambahan, yang menjadi sasaran pertama pemangkasan jatah jam
pembelajaran di antaranya pendidikan seni. Begitupun, ketika guru pendidikan
seni belum tersedia, pengelola sekolah tidak pernah merasa resah dibanding
ketika tidak ada guru matematika, biologi, geografi, dan sejenisnya. Guru
pendidikan seni dianggap bisa dirangkap oleh guru bidang pelajaran lainnya. Ada
guru agama, olah raga, ekonomi, juga kimia atau bahasa, yang merangkap mata
pelajaran pendidikan seni. Hasil pembelajaran berupa nilai akhir dalam raport
pun kerap menjadi korban untuk menambah angka nilai mata pelejaran lainnya agar
siswa tertentu bisa dianggap layak naik kelas.
Hasil
penelitian tahun 2001, sebelum terjadi Bom Bali I dan II, 83,5% lebih PDRB Bali disokong oleh hasil penjualan
benda-benda seni rupa. Itu yang tercatat secara resmi di Deperindag Bali.
Banyak hasil penjualan benda seni rupa yang tidak tercatat secara resmi, bahkan
begitu banyak yang sengaja disembunyikan dari amatan publik. Gambaran
kesejahteraan masyarkat melalui pengeloaan hasil olah seni tersebut belum
disadari oleh Pemerintah. Pemerintah daerah belum banyak memperhatikan
keberadaan seni beserta kondisi dan individu yang terlibat di dalamnya sebagai
aset daerah yang harus dihargai tinggi. Bali menjadi sangat unik sebagai
destinasi wisata dunia bukan semata karena keindahan alamnya. Keindahan alam
bisa dikatakan sebagai kekayaan anugerah Tuhan yang merata dibagikan hampir
kepada semua kawasan Bumi. Tetapi khusus Bali, di sampping memiliki kekayaan
keindahan alam, Bali juga memiliki aktivitas dan produk seni yang menyertai
keindahan alamnya. Dan, itulah yang menyokong besaran jumlah PDRB Bali. Sekali
lagi, Pemerintah masih belum menyikapi secara positif modal utama daerah
tersebut. Posisi seni, pelaku seni, dan pendidikan seni, masih ditempatkan pada
aras yang kurang berharga. Bahkan masih banyak yang mengaggap sepele. Sampai
kapan?