Oleh
Jajang Suryana
Banyak hal tentang seni rupa yang telah berubah. Perubahan itu terjadi sejalan dengan perubahan pola berpikir masyarakat pendukung seni rupa. Terutama, masyarakat akademis. Mereka kadang-kadang lebih kolot ketimbang masyarakat non-akademis. Tetapi, karena mereka yang menguasai dunia teori seni rupa, teori merekalah yang dipaksakan harus menjadi dasar pikir dalam pendidikan seni rupa.
Masyarakat pendukung seni lainnya di luar seni rupa, tampaknya, bisa lebih lentur dalam menyikapi permasalahan teori maupun praktik kegiatan mereka. Satu bukti nyata, sejak lama para pemusik tradisi telah bersanding dalam satu panggung kreasi dengan para pemusik modern. Hasil kolaborasi antarmereka telah banyak diserap dan dinikmati oleh khalayak pecinta musik. Itu sangat indah. Begitupun para seniman teater. Bagi mereka, kolaborasi langsung dalam memanfaatkan panggung kreasi yang sama, adalah sebuah keniscayaan yang menghasilkan kebaruan produk. Seniman tari pun demikian halnya.
Senirupawan, terutama para akademisi, sejak lama menjaga jarak dengan senirupawan tradisi, yang non-akademisi. Bahkan hingga kini, tahun 2010, belum ada berita gembira tentang kolaborasi dalam panggung kreasi antara senirupawan akademisi dengan senirupawan non-akademisi. Jika dikaitkan dengan pola pikir para akademisi yang telah cukup jauh mengikuti arus besar pola pikir seni postmodernisme, mereka baru tampak mencuri gaya, cara, atau tema, dari para senirupawan tradisi. Atau, jika muncul bentuk kerja sama, kerja sama itupun baru sebatas majikan-pembantu. Hingga kini, pola majikan-pembantu itulah yang terjadi pada produk karya besar para senirupawan akademisi.
ADILUHUNG
Istilah adiluhung diterapkan kepada karya-karya seni rupa yang dianggap “sarat -nilai”. Tetapi, istilah itu hanya akan ditempelkan pada karya-karya para akademisi semata. Sehingga, untuk membedakan ruang eksistensi karya seni rupa pekota (meminjam istilah Sudjoko ketika menyebut para senirupawan akademisi), para modernis membangun ruang teori seni mereka dengan batasan ruang seni murni dan seni (tak) murni alias seni terap.
Maman Noor (alm), seorang kritisi seni modern dari ITB, pernah berang ketika kegiatan berkesenian dianggap sama saja dengan kegiatan khalayak lainnya. Kejadian itu terjadi tahun 1996, pada saat dilangsungkan seminar regional di Bali, di Kampus Tengah IKIP Negeri Singaraja (kini Universitas Pendidikan Ganesha). "Apa mungkin", katanya sengit, "seorang petani yang akan mencangkul, sama seperti para seniman mengatur pola cangkulannya supaya estetis?" Sebetulnya, maksud pernyataan penyamaan tersebut adalah bahwa pekerjaan berkesenian tidak perlu dianggap lebih mulia (adiluhung) ketimbang pekerjaan biasa keseharian lainnya. Semua pekerjaan memiliki porsi kebermanfaatan dan nilai yang sama dan penting sesuai dengan ruangnya.
Tak berselang lama, ketika pikiran postmodernisme betul-betul merasuk para senirupawan muda Indonesia, Tisna Sanjaya, seniman lulusan perguruan tinggi yang sama dengan Maman Noor, melakukan kegiatan ritual menanam padi. Dan, katanya, itu adalah berkesenian. Artinya, kegiatan ritual menanam padi tadi, adalah juga dianggap kesenian produk para pekota yang adiluhung. Selanjutnya berturut-turut muncul kegiatan yang menghebohkan dunia seni rupa Indonesia --boleh jadi karena diekspos oleh para penguasa media massa-- ada senirupawan yang berkarya dengan hanya membengkok-bengkokkan paku, ada yang membawa palu untuk memukul setiap batu yang ditemukannya, atau ada juga yang melibatkan penonton untuk menulisi dan menggambari tubuh senimannya. Semua itu, kemudian berterima dalam masyarakat pendukung seni rupa: seni rupa performance.
SENI DAN EKONOMI?
Saya pernah diingatkan oleh pembimbing tesis (tahun 1993), ketika saya mengangkat topik hubungan seni rupa dengan ekonomi. “Hubungan apa itu?,” katanya. Bagi pembimbing saya, berkarya seni rupa adalah mengolah ekspresi tanpa tendensi ekonomis sedikitpun. Lalu, ketika karyanya dibeli orang, atau ada orang yang memesan monumen itu dan ini? “Itu kan mereka yang mau membeli. Bukan saya yang berusaha menjual,” kilahnya. Ya deh!
Ketika terjadi boom seni rupa tahun 80-an, lebih khusus terkait dengan keberadaan pasar seni lukis, begitu banyak seniman yang sibuk melayani kesempatan menjawab tuntutan pasar. Ada sementara ahli ekonomi yang menunjuk bahwa penjualan karya seni adalah bentuk transaksi ekonomi yang tak rasional. Para seniman mulai banyak terlibat dalam “sistem ekonomi yang tak rasional” itu. Tetapi, banyak seniman menyembunyikan penghasilannya. Padahal, jika mereka mau terbuka, akan terlihatlah bahwa berkesenian itu bisa menjadi pilihan kerja yang sangat menjanjikan kemakmuran. Mungkin, anggapan bahwa ‘seniman itu tak pantas menjual karyanya’, atau ‘seniman itu tak boleh mengikuti keinginan pasar’ yang menjadi prinsip seni modern, masih menjadi pegangan “gengsi” mereka. Bagi mereka, seseorang yang menjual karya atau yang berkarya mengikuti permintaan pasar hanyalah para perajin, tukang, craftsman, dan sejenisnya. Seniman --lawan kata perajin, tukang, dan craftsman-- itu harus menjunjung tinggi nilai adiluhung proses penciptaan; seniman itu harus berkarya untuk memenuhi dan menghargai hasrat estetik semata. Padahal, dalam bidang kegiatan seni lainnya, misalnya musik dan film, seniman sangat biasa mendapatkan keuntungan finansial dari hasil karyanya. Dan, hal itu dianggap sesuatu yang biasa, wajar, bahkan suatu keharusan!
Pada periode booming yang mulai melemah, ada gebrakan yang bisa dikatakan sebagai upaya bersifat “karbitan”. Banyak pelukis yang “digoreng”. Istilah itu dipakai oleh para ktitisi seni rupa untuk menunjuk para pelukis yang dikarbit oleh para penguasa dan sekaligus pengusaha (ma’af, mafia) karya seni. Banyak pelukis muda yang dikarbit tiba-tiba ‘matang’ dan bisa menjual karya dengan harga yang sangat luar biasa. Tetapi, mengacu istilah digoreng atau dikarbit, pelukis muda ini cepat gosong atau busuk, hingga setelah dua -tiga kali mengalami penggorengan, turunlah pamornya. Dan konon, jika telah ‘busuk’ tak mungkin bisa diperbaiki lagi. Artinya, pelukis itu ‘tamat riwayatnya’. Memang, bahagia secara instan, tetapi sedihnya bisa berkepanjangan.
COPY THE MASTER
Dalam teori seni rupa Barat modern, seseorang yang menduplikasi karya, atau sekadar gaya orang lain, dianggap tidak kreatif. Entah dari mana munculnya teori tersebut. Padahal, jika ditelusuri melalui sejumlah karya para pelukis yang dianggap menjadi master seni rupa modern, bisa ditemukan periode karya pelukis-pelukis besar itu yang menunjukkan pola dupliksi atau sejenisnya. Beberapa contoh karya Pablo Picasso, Georges Braque, Ameede Ozenfant, dan Charles Edouard Jeanneret, misalnya, pada periode melukis dengan tema still life bisa ditemukan pola lukis dan objek yang sama. Ada objek biola, botol, bejana kaca lainnya, yang disusun dengan pola lukis yang hampir sama. Entahlah, apakah hal itu bisa disebut sebagai jejak ‘hasil belajar bersama’ dalam suatu studio dan berguru kepada seorang master? Jika ya, produk karya dengan istilah copy the master yang sangat biasa ditemukan dalam lingkungan seni rupa tradisi, juga ditemukan dalam lingkungan seni rupa modern. Dalam lingkup budaya tradisi seni lukis Cina dan Bali misalnya, cara ini lumrah dilakukan para murid. Dan, para murid, suatu waktu bisa juga menemukan jatidirinya, yang dalam istilah seni rupa modern diagung-agungkan dengan sebutan ciri pribadi.
Desain produk benda massal modern, seperti kendaraan (roda dua dan empat), benda-benda elektronik fungsional (komputer PC, notebook/laptop, netbook, handphone, televisi), bisa kita temukan memiliki kesamaan bentuk, fungsi, fitur, spesifikasi, maupun harga jual. Apakah hal itu terkait dengan standarisasi produksi? Kekita produsen A menggunakan prosesor Intel Atom misalnya, yang lain pun mengikuti pola dan spesifikasi yang ‘standar’ untuk produk netbook. Begitupun ketika ada produk baru yang dibesut oleh para gurita gadget, hampir semua produk melakukan hal yang mirip. Hanya beberapa produsen saja yang secara terbatas masih teguh dengan pola khas mereka.
Pola saling meniru adalah fitrah manusia. Tak bisa dihindari keberadaannya. Oleh karena itu, HaKI dan patent, menurut sejumlah ahli, hanyalah upaya individualistik para penemu yang masih dimotori sifat utama faham modernisme. Berbeda sekali dengan faham para agamawan yang mengusung prinsip ‘semakin banyak kebermanfatan (karya) seseorang bagi masyarakat, semakin banyak tabungan masa depan yang akan bisa didapatkan’. Masing-masing faham memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Tak ada kebenaran yang mutlak dalam urusan keduniaan. Hanya kebenaran yang datang dari Allah saja yang bisa dianggap kebenaran yang mutlak. Tentu, itupun hanya bagi mereka yang memiliki keyakinan tentangnya.